Dengan hormat, mohon penjelasannya, apakah ada hubungan antara Kepmenakertrans 102/2004 dengan Permenakertrans 04/2014 dalam hal pengaturan lembur? Demikian atas penjelasannya saya ucapkan terima kasih. Salam hormat.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sekedar informasi untuk Anda, sebelumnya kami akan jelaskan tentang kedudukan peraturan menteri dan keputusan menteri dalam hierarki peraturan perundang-undangan terlebih dahulu. Pada dasarnya, Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”) menyatakan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
a.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
d.Peraturan Pemerintah;
e.Peraturan Presiden;
f.Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pada Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 di atas memang tidak menyebut baik peraturan menteri maupun keputusan menteri merupakan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 menegaskan antara lain bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Menteri. Ketentuan ini menunjukkan keberadaan peraturan menteri merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan.
Lalu bagaimana dengan keputusan menteri? Untuk menjawabnya kita mengacu pada Pasal 100 UU 12/2011 yang berbunyi:
“Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.”
Jadi, baik peraturan menteri dan keputusan menteri yang sifatnya mengatur keduanya merupakan peraturan perundang-undangan yang diakui oleh UU 12/2011. Penjelasan lebih lanjut mengenai keduanya dapat Anda simak dalam artikel Perbedaan antara Peraturan Menteri dengan Keputusan Menteri.
Pada dasarnya, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur (“Kepmenakertrans 102/VI/2004”) mengatur soal waktu dan upah kerja lembur pada perusahaan secara umum. Namun, hal penting yang disampaikan dalam Pasal 2 ayat (1) Kepmenakertrans 102/VI/2004 adalah pengaturan waktu kerja lembur yang diatur ini berlaku untuk semua perusahaan, kecuali bagi perusahaan pada sektor usaha tertentu atau pekerjaan tertentu.
Lalu, apa yang dimaksud dengan “perusahaan pada sektor usaha tertentu atau pekerjaan tertentu itu”? Anda menyebut soal Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2014 tentang Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (“Permenakertrans 4/2014”).
Bagian “Mengingat” dalam Permenakertrans 4/2014 menyebut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP. 234/MEN/2003 tentang Waktu Kerja dan Istirahat pada Sektor Usaha Energi dan Sumber Daya Mineral pada Daerah Tertentu (“Kepmenakertrans 234/2003”).
Ini artinya, kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi itu merupakan salah satu perusahaan yang bergerak pada sektor usaha energi dan sumber daya mineral yang pengaturan mengenai waktu kerja lemburnya perlu diatur secara tersendiri (khusus). Di samping itu, pengaturan tersendiri ini diperlukan karena kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi memiliki karakteristik tersendiri karena lokasi usaha, sifat dan jenis pekerjaannya terus menerus dan dipengaruhi oleh faktor kondisi alam dan geografis (lihat bagian konsiderans Permenakertrans 4/2014).
Menjawab pertanyaan Anda, berikut kami uraikan keterkaitan antara Permenakertrans 4/2014 dengan Kepmenakertrans 102/VI/2004:
Pada bagian “Mengingat” Permenakertrans 4/2014 tidak hanya menyebut Kepmenakertrans 234/2003, tetapi juga menyebut Kepmenakertrans 102/VI/2004 sebagai dasar hukum diterbitkannya Permenakertrans 4/2014
Dalam hal perusahaan hulu minyak dan gas bumi itu menerapkan waktu kerja dan waktu istirahat dengan pola (Pasal 2 ayat (4) jo. Pasal 2 ayat (1) huruf a dan b Permenakertrans 4/2014”):
a. waktu kerja 6 (enam) hari dalam 1 (satu) minggu dan waktu istirahat 1 (satu) hari dalam 1 (satu) minggu dengan ketentuan 7 (tujuh) jam dalam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu atau
b. waktu kerja 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu dan waktu istirahat 2 (dua) hari dalam 1 (satu) minggu dengan ketentuan 8 (delapan) jam dalam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu;
Akan tetapi, apabila perusahaan hulu minyak dan gas bumi itu menerapkan waktu kerja dan waktu istirahat dengan pola waktu kerja maksimal 28 (dua puluh delapan) hari berturut-turut dengan ketentuan perbandingan waktu kerja dengan waktu istirahat minimal 2 (dua) banding 1 (satu) dalam 1 (satu) periode kerja sebagaimana disebut dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c Permenakertrans 4/2014; maka yang berlaku adalah Permenakertrans 4/2014, yakni jam kerja paling lama 11 (sebelas) jam dalam 1 (satu) hari dengan ketentuan waktu kerja dimaksud tidak termasuk waktu istirahat sekurang-kurangnya 1 (satu) jam [Pasal 2 ayat (2) Permenakertrans 4/2014].
Jadi, apakah sebuah perusahaan hulu minyak dan gas bumi itu menerapkan ketentuan dalam Permenakertrans 4/2014 atau Kepmenakertrans 102/VI/2004 bergantung pada pola waktu kerja dan istirahat mana yang telah ditetapkan di perusahaan itu.
2.Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;
3.Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP. 234/MEN/2003 tentang Waktu Kerja dan Istirahat pada Sektor Usaha Energi dan Sumber Daya Mineral pada Daerah Tertentu
4.Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.