KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hukumnya Jika Ibu Tidak Merawat Anak karena Ingin Kawin Lagi

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Hukumnya Jika Ibu Tidak Merawat Anak karena Ingin Kawin Lagi

Hukumnya Jika Ibu Tidak Merawat Anak karena Ingin Kawin Lagi
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Hukumnya Jika Ibu Tidak Merawat Anak karena Ingin Kawin Lagi

PERTANYAAN

Bagaimana bila si ibu tidak merawat anaknya tetapi si ibu memberikan anaknya untuk dirawat oleh orang tuanya karena si ibu ingin menikah lagi? Apakah si ayah kandung berhak untuk merawat anaknya?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami berpedoman pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 (“UU 35/2014”).

     

    Pada dasarnya, setiap anak berhak dirawat oleh orang tuanya sendiri. Ketentuan ini dipertegas dalam Pasal 7 UU Perlindungan Anak yang bebunyi:

    KLINIK TERKAIT

    Panduan Mengajukan Perceraian Tanpa Pengacara

    Panduan Mengajukan Perceraian Tanpa Pengacara
     

    (1)      Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.

    (2)      Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     

    Hak anak untuk dibesarkan dan diasuh orang tuanya, dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati orang tuanya [penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU Perlindungan Anak].

     

    Lebih lanjut dikatakan dalam Pasal 14 ayat (1) UU 35/2014 bahwa setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

     

    Dalam hal terjadi pemisahan, Anak tetap berhak: (lihat Pasal 14 ayat (2) UU 35/2014)

    a.    bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua Orang Tuanya;

    b.    mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;

    c.    memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya; dan

    d.    memperoleh Hak Anak lainnya.

     

    Di samping itu, hal ini berkaitan juga dengan kewajiban orang tua. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk [Pasal 26 ayat (1) UU 35/2014]:

    a.    mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak;

    b.    menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;

    c.    mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan

    d.    memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak.

     

    Masih berkaitan dengan pertanyaan yang Anda sampaikan, dalam UU Perlindungan Anak dikenal istilah kuasa asuh, yakni kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan sesuai dengan kemampuan, bakat, serta minatnya. Adapun yang dimaksud dengan orang tua menurut UU ini adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat [lihat Pasal 1 angka 11 jo. Pasal 1 angka 4 UU 35/2014].

     

    Jadi, ini artinya, jika ibu ingin menikah lagi, maka kewajiban mengasuh anak tetap ada. Ibu dilarang untuk memberikan anaknya untuk dirawat orang lain, selain orang tua kandung anak tersebut (selama masih ada), meskipun itu ialah orang tua dari si ibu itu sendiri (kakek dan/atau nenek si anak). Menjawab pertanyaan Anda, tentu saja ayah kandungnya berhak dan memiliki kuasa asuh atas anak tersebut.

     

    Jika bayi tersebut karena alasan suatu hal tidak dapat diasuh oleh ayahnya, maka untuk kepentingan si bayi, yang berhak mengasuh kemudian adalah keluarganya [Pasal 26 ayat (2) UU 35/2014]. Yang dimaksud keluarga di sini adalah kakek/nenek dari bayi. Jadi, baru di sinilah peran orang tua dari ibu yang ada dalam pertanyaan Anda (kakek dan nenek) dari si anak. Penjelasan lebih lanjut mengenai hak anak untuk diasuh oleh orang tua kandungnya sendiri dapat Anda simak pula dalam artikel Siapakah yang Berhak Mengasuh Bayi yang Ibunya Meninggal Dunia?

     

    Jadi berdasarkan uraian di atas, ibu tidak seharusnya membiarkan anak diasuh oleh orang lain selama ibu atau ayah dari bayi tersebut mampu untuk mengasuhnya. Tindakan ibu yang tidak mau mengurus anaknya dan tidak peduli terhadap anak juga bisa dikategorikan sebagai penelantaran anak karena menyangkut kewajibannya sebagai seorang ibu. Penjelasan lebih lanjut mengenai pidana bagi ibu yang tidak mau mengurus anak dapat Anda simak dalam artikel Jerat Hukum Bagi Ibu yang Tidak Mau Mengurus Anak.

     

    Di samping itu, berkaitan dengan hak asuh anak ketika ibu menikah lagi, kami mengacu pada artikelyang ditulis oleh Erfani, S.HI berjudul Klausul Hadhanah yang Terabaikan yang kami akses dari laman resmi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI. Dalam tulisan tersebut antara lain dikatakan bahwa dalam situasi dimana seorang ibu masih sendiri maka hadhanah anaknya (hak asuh anak) mutlak menjadi hak/kewajibannya. Sementara ketika telah menikah lagi, maka pernikahannya itu dikategorikan sebagai mani’ (penghalang; bagian dari hukum wadh’i) dari hak hadhanah atas anaknya. Artinya jika sang Ibu bukan lagi berstatus isteri dari laki-laki lain (tidak terikat pernikahan), maka hilanglah penghalang itu, dan hak asuh/hadhanah atas anaknya akan kembali kepadanya.

     

    Jadi, jika dikaitkan dengan pertanyaan Anda, jika seorang ibu menikah lagi, maka pada dasarnya, pernikahannya itu menjadi penghalang baginya atas hak asuh anaknya. Lebih lanjut pada tulisan tersebut dikatakan jika pernikahan diduga menyebabkan pemegang hak asuh ternyata tidak mampu menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun nafkah tercukupi, maka atas inisitif kerabat anak tersebut, pengadilan agama dapat mengalihkan hak asuh kepada pihak lain. Hal ini sebagaimana disebut dalam Pasal 156 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI).

     

    Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa hadhanah beralih secara tertib dari mulai kerabat perempuan kemudian kerabat laki-laki, dengan rincian pertama adalah Ibu kandung, ibunya ibu kandung, dan seterusnya ke atas dengan catatan bahwa mereka itu layak mengasuh anak dan tidak pula serumah dengan ibu kandung bersama suami barunya (ayah tiri anak). Hal ini karena pada hakikatnya, antara ayah tiri dan anak bawaan istri itu ada sebentuk siratan hubungan revalitas yaitu adanya silang kepentingan. Dalam situasi sedemikian ini ayah kandung anak berhak mengambil alih anak itu.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     
    Dasar hukum:

    1.    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014;

    2.    Kompilasi Hukum Islam.

     
    Referensi:

    http://badilag.net/data/ARTIKEL/Maa%20Lam%20Tankihi.pdf, diakses pada 25 November 2014 pukul 14.25 WIB.

        

    Tags

    orang tua

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Perhatikan Ini Sebelum Tanda Tangan Kontrak Kerja

    20 Mar 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!