KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Menyewakan Rumah Gono-Gini Tanpa Persetujuan Mantan Pasangan

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Menyewakan Rumah Gono-Gini Tanpa Persetujuan Mantan Pasangan

Menyewakan Rumah Gono-Gini Tanpa Persetujuan Mantan Pasangan
Letezia Tobing, S.H., M.Kn.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Menyewakan Rumah Gono-Gini Tanpa Persetujuan Mantan Pasangan

PERTANYAAN

Jika suami istri berpisah, bisakah mantan istri menyewakan rumah yang masih merupakan harta gono-gini tanpa persetujuan mantan suami?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

     
    Intisari:
     
     

    Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak diatur dengan tegas bahwa menyewakan barang milik orang lain adalah batal. Ini berbeda dengan pengaturan jual beli yang secara jelas mengatakan bahwa jual beli barang orang lain adalah batal, yang berarti seseorang tidak boleh menjual barang yang bukan miliknya.

     

    Akan tetapi, karena harta bersama ini belum dibagi, maka yang berhak untuk melakukan tindakan hukum atas harta tersebut adalah si mantan suami bersama-sama dengan si mantan istri. Jika hanya mantan istri yang menyewakan rumah tersebut, maka ada kemungkinan mantan suami akan memperkarakan hal ini yang berakibat pada terganggunya penyewa dalam memakai rumah tersebut. Atas gangguan ini, penyewa dapat meminta pengurangan harga sewa.

     

    Penjelasan selengkapnya silakan baca ulasan di bawah ini.

     
     
     
    Ulasan:
     

    Kami berasumsi bahwa pernikahan ini terjadi setelah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) berlaku. Pada dasarnya, jika perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing (Pasal 37 UU Perkawinan). Yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.

     

    Sebagaimana pernah dijelaskan oleh irma Devita Purnamasari, S.H., M.KN. dalam artikel Pembagian Harta Bersama Jika Terjadi Perceraian, terhadap harta bersama, jika terjadi perceraian, maka harus dibagi sama rata antara suami dan istri. Pembagian terhadap harta bersama tersebut meliputi segala keuntungan dan kerugian yang didapatkan dari usaha maupun upaya yang dilakukan oleh pasangan suami/istri tersebut selama mereka masih terikat dalam perkawinan.

     

    Jika belum ada pembagian harta gono gini, maka harta-harta tersebut masih milik bersama antara si mantan suami dengan mantan istri. Terhadap milik bersama, tentu saja setiap perbuatan hukum harus dengan persetujuan mantan istri dan mantan suami sebagai pemiliknya.

    KLINIK TERKAIT

    Bisakah Kekayaan Intelektual Menjadi Harta Gono-Gini?

    Bisakah Kekayaan Intelektual Menjadi Harta Gono-Gini?
     

    Pada dasarnya tidak ada ketentuan bahwa yang menyewakan barang haruslah pemilik dari barang tersebut. Ini berbeda dengan pengaturan dalam jual beli yang secara jelas mengatakan bahwa jual beli barang orang lain adalah batal (Pasal 1471 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata – “KUHPer”), yang berarti seseorang tidak boleh menjual barang yang bukan miliknya.

     

    R. Subekti dalam bukunya Aneka Perjanjian (hal. 40) mengatakan bahwa karena kewajiban pihak yang menyewakan adalah menyerahkan barang untuk dinikmati dan bukannya menyerahkan hak milik atas barang itu, maka ia tidak usah pemilik dari barang tersebut. Dengan demikian, maka seorang yang mempunyai hak nikmat hasil dapat secara sah menyewakan barang yang dikuasainya tersebut.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     

    Akan tetapi, perlu dilihat lagi bahwa sewa menyewa adalah suatu perjanjian (lihat definisi sewa menyewa dalam Pasal 1548 KUHPer), oleh karena itu, sahnya sewa menyewa juga merujuk pada sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPer.

     

    Pasal 1548 KUHPer:

    Sewa menyewa ialah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu (penyewa) disanggupi pembayarannya.

     

    Syarat sah perjanjian tersebut antara lain: (Pasal 1320 KUHPer)

    1.     kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

    2.     kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

    3.     suatu pokok persoalan tertentu;

    4.     suatu sebab yang tidak terlarang.

     

    Memang jika dilihat dari syarat sah perjanjian, sewa menyewa antara si mantan istri dengan si penyewa adalah sah. Tetapi si istri bukanlah orang yang mempunyai wewenang penuh atas rumah tersebut.

     

    Elly Erawati dan Herlien Budiono dalam bukunya yang berjudul Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian (hal. 12-13), mengatakan bahwa ketidakcakapan seseorang untuk melakukan tindakan hukum harus dibedakan dengan ketidakwenangan seseorang untuk melakukan tindakan hukum. Mereka yang tidak berwenang melakukan tindakan hukum adalah orang-orang yang dilarang melakukan tindakan hukum tertentu. Jadi seseorang yang oleh undang-undang dikualifikasi sebagai tidak berwenang melakukan tindakan hukum tertentu, tidak berarti bahwa ia tidak cakap.

     

    Perjanjian yang ditutup oleh seseorang yang tidak berwenang untuk melakukan tindakan hukum menjadi batal demi hukum. Ini berbeda dengan jika pihak dalam perjanjian adalah orang yang tidak cakap (jika pihak dalam perjanjian tidak cakap, maka perjanjian menjadi dapat dibatalkan).

     

    Dalam hal ini, yang berwenang atas rumah tersebut adalah si suami dan si istri, sehingga jika yang setuju untuk menyewakan hanyalah si istri, maka perjanjian menjadi batal demi hukum. Suami berhak untuk meminta penghentian sewa maupun menggugat bagiannya atas rumah tersebut.

     

    Jika terjadi gangguan pada pihak ketiga dalam menikmati rumah yang disewa akibat ketidakwenangan istri dalam melakukan tindakan hukum atas harta bersama tersebut, KUHPer memberikan perlindungan kepada penyewa tersebut. R. Subekti (Ibid, hal. 45) mengatakan bahwa jika selama waktu sewa, si penyewa dalam pemakaian barang yang disewakan, diganggu oleh seorang pihak ketiga berdasar atas suatu hak yang dikemukakan oleh pihak ketiga itu, maka dapatlah si penyewa menuntut dari pihak yang menyewakan supaya uang sewa dikurangi secara sepadan dengan sifat gangguan itu. Hal ini diatur dalam Pasal 1557 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

     

    Apabila pihak ketiga itu sampai menggugat si penyewa di muka pengadilan, maka si penyewa dapat menuntut supaya pihak yang menyewakan ditarik sebagai pihak dalam perkara perdata itu untuk melindungi si penyewa.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

    2.    Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

     
    Referensi:
    1. R. Subekti. 1985. Aneka Perjanjian. Bandung: Alumni.
    2. Elly Erawati dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian

     

    Tags

    hukum
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Ingin Rujuk, Begini Cara Cabut Gugatan Cerai di Pengadilan

    1 Sep 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!