Kakak saya seorang arsitek. Dia bekerja sama dengan seorang partnernya sesama arsitek mendirikan biro arsitek atau konsultan arsitektur di Jakarta dan di Bandung sebagai cabangnya. Setelah sekitar 6 tahun, rekan kakak saya ini melakukan kecurangan dengan menjual hasil karya kakak saya ke pihak lain tanpa meminta izin sebelumnya. Dan ini sudah terjadi beberapa kali. Akhirnya rekan kakak saya ini mengundurkan diri, namun tetap beranggapan bahwa perbuatannya tersebut tidak melanggar hukum. Yang saya tanyakan disini adalah:
1. Apa hukumnya perbuatan rekan kakak saya yang menjual hasil karya arsitek lain yang merupakan rekannya tanpa izin ke pihak lain?
2. Apakah perbuatan ini termasuk pelanggaran hukum perdata atau pidana?
3. Bagaimana agar kejadian serupa tidak terulang lagi di kemudian hari?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Intisari
Pada dasarnya setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Jika tidak meminta izin, maka dapat dipidana. Selain masuk ke dalam ranah pidana, dapat juga masuk dalam ranah perdata. Untuk mengukur aspek hukum perdatanya, harus ada kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut. Akan lebih baik jika dilihat sesudah adanya putusan final mengenai kasus pidananya sehingga memiliki dasar yang kuat untuk membuktikan kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut.
Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini.
Ulasan
Terima kasih atas pertanyaannya.
Karya Arsitektur termasuk salah satu Ciptaan yang dilindungi menurut Pasal 40 ayat (1) huruf h Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC 2014”). Dalam bagian Penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "karya arsitektur" antara lain, wujud fisik bangunan, penataan letak bangunan, gambar rancangan bangunan, gambar teknis bangunan, dan model atau maket bangunan.
Terkait dengan permasalahan yang Anda tanyakan, saya ingin mengutip kalimat dari pertanyaan Anda yang berbunyi: “rekan kakak saya ini melakukan kecurangan dengan menjual hasil karya kakak saya ke pihak lain tanpa meminta izin sebelumnya.”
Pasal 8 UUHC 2014 menyatakan hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan. Sedangkan pada Pasal 9 ayat (1) UUHC 2014, dinyatakan bahwa Pencipta atau Pemegang Hak Cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan:
a.Penerbitan Ciptaan;
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
b.Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
c.Penerjemahan Ciptaan;
d.Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;
e.Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
f.Pertunjukan Ciptaan;
g.Pengumuman Ciptaan;
h.Komunikasi Ciptaan; dan
i.Penyewaan Ciptaan.
Kalimat “tanpa meminta izin” dalam pertanyaan Anda sebenarnya adalah kunci dari pelanggaran hak cipta yang terjadi karena dalam hukum hak cipta, izin menjadi syarat utama apalagi untuk suatu Ciptaan yang dipergunakan secara komersial. Setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.[1] Aturan yang lebih tegas lagi dinyatakan dalam Pasal 9 ayat (3) UUHC 2014 yang berbunyi: Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.
Yang dimaksud dengan Penggunaan Secara Komersial adalah pemanfaatan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar.[2]
Memang ada kemungkinan bahwa yang membuat tidak menjadi pemegang hak cipta, misalnya dalam hubungan kerja dimana diperjanjikan bahwa pencipta dan pemegang hak cipta adalah pengusaha, bukan pekerja yang membuat ciptaan tersebut. Pengaturan ini dapat dilihat dalam Pasal 36 UUHC 2014 yang menyatakan, kecuali diperjanjikan lain, Pencipta dan Pemegang Hak Cipta atas Ciptaan yang dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan yaitu pihak yang membuat Ciptaan.
Akan tetapi dalam kaitannya dengan pertanyaan Anda, di mana posisi antara kakak Anda dan temannya adalah Partner, maka pasal tersebut tidak dapat diterapkan dalam kasus ini.
Pidana atau Perdata?
Mengenai apakah perbuatan tersebut termasuk pelanggaran hukum perdata atau pidana, dapat disampaikan bahwa dengan adanya aturan mengenai sanksi pidana dalam UUHC 2014, maka pelanggaran tersebut termasuk tindak pelanggaran hukum pidana. Jika terbukti ada pelanggaran hak cipta sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 9 ayat (3) UUHC 2014, maka orang yang melakukan pelanggaran bisa dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 113 angka (3) UUHC 2014 sebagai berikut:
Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sedangkan untuk mengukur aspek hukum perdatanya, harus ada kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut. Akan lebih baik jika dilihat sesudah adanya putusan final mengenai kasus pidananya sehingga memiliki dasar yang kuat untuk membuktikan kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut.
Menjawab pertanyaan Anda mengenai apa yang harus dilakukan agar kejadian tersebut tidak terulang lagi di masa mendatang, beberapa saran yang dapat saya berikan adalah sebagai berikut:
1.Mendaftarkan hak cipta setiap karya arsitektur yang dilahirkan
Hak Cipta memang tidak mewajibkan pendaftaran karena lahir secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif pada saat Ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata. Akan tetapi untuk Ciptaan yang digunakan secara komersial, sebaiknya Ciptaan dicatatkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual agar mendapatkan Surat Pencatatan Ciptaan dan tercatat dalam Daftar Umum Ciptaan sebagai pengukuhan dan sebagai salah satu bukti apabila terjadi sengketa di kemudian hari.
Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai Pencipta, yaitu Orang yang namanya:[3]
a.disebut dalam Ciptaan;
b.dinyatakan sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan;
c.disebutkan dalam surat pencatatan Ciptaan; dan/atau
d.tercantum dalam daftar umum Ciptaan sebagai Pencipta.
2.Menentukan Siapa Pencipta/Pemegang Hak Cipta
Melalui perjanjian kerjasama yang jelas, para pihak menentukan siapa pemegang hak cipta dari karya-karya arsitektur yang dihasilkan dalam perusahaan. Pemegang Hak Cipta bisa Penciptanya sendiri atau perusahaan.
Perusahaan arsitektur biasanya menjadi Pemegang Hak Cipta dari karya-karya arsitektur yang dibuat oleh karyawan yang bertindak dalam lingkup kerjanya, dengan ketentuan ada perjanjian kerja yang secara jelas menyatakan perusahaan sebagai pemegang hak cipta.
3.Membuat Perjanjian Lisensi dengan Klien
Perlindungan hak cipta atas suatu karya arsitektur melibatkan hubungan yang panjang. Apabila dalam perjalanannya terjadi hubungan yang tidak baik dengan klien, perjanjian lisensi akan membatasi pergerakan Ciptaan agar tidak berpindah kepada pihak lain tanpa izin.