KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam Hukum Indonesia

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam Hukum Indonesia

Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam Hukum Indonesia
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam Hukum Indonesia

PERTANYAAN

Apa yang dimaksud dengan perampasan aset tanpa pemidanaan?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

     

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    KLINIK TERKAIT

    Gunakan Harta Hasil Korupsi, Keluarga Koruptor Bisa Dipidana?

    Gunakan Harta Hasil Korupsi, Keluarga Koruptor Bisa Dipidana?
     
    Intisari:
     
     

    Pada dasarnya, yang dikenal dalam sistem hukum pemidanaan di Indonesia, antara lain yakni dalam UU Pemberantasan Tipikor adalah perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak (perampasan aset) yang merupakan hukuman tambahan dari pidana pokok berupa pidana penjara dan/atau benda. Oleh karena itu, sifat dari perampasan aset ini adalah sanksi/hukuman tambahan yang dibarengi dengan sanksi pidana lainnya, bukan perampasan aset tanpa pemidanaan.

     

    Akan tetapi, dalam Perma 1/2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang atau Tindak Pidana Lain, dapat dilakukan perampasan aset yang tidak diketahui siapa pemiliknya dan dicurigai merupakan hasil tindak pidana pencucian uang.

     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     
     
     
    Ulasan:
     

    Mengenai perampasan aset tanpa pemidanaan, hal ini diterapkan di beberapa negara. Dalam artikel Perlunya Aturan Illicit Enrichment untuk Cegah Korupsi, Deputi Bidang Hukum Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Yunus Husein mengatakan bahwa dalam penerapan illicit enrichment (IE) di Australia dan beberapa negara lain, perampasan aset dilakukan tanpa pemidanaan. Perampasan itu dikenakan terhadap aset yang tak dapat dibuktikan pelaku dengan pembuktian beban terbalik, tanpa dilakukan pemidanaan.

     

    Dari sini dapat kita simpulkan sementara bahwa perampasan aset tanpa pemidanaan adalah hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana yang mana asetnya dapat dirampas oleh negara tanpa orang tersebut dijatuhi pidana penjara dan/atau denda.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     

    Pada dasarnya dalam sistem hukum pemidanaan di Indonesia sendiri dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang dikenal adalah perampasan barang sebagai salah satu pidana (hukuman) tambahan sebagaimana disebut dalam Pasal 10 KUHP:

     

    Hukuman-hukuman ialah:

    a.    Hukuman-hukuman pokok:

    1.    hukuman mati,

    2.    hukuman penjara,

    3.    hukuman kurungan,

    4.    hukuman denda;

    b.    Hukuman-hukuman tambahan:

    1.    pencabutan beberapa hak y ang tertentu,

    2.    perampasan barang yang tertentu,

    3.    pengumuman keputusan hakim.

     

    Ini artinya, perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak (perampasan aset) merupakan hukuman tambahan yang dapat dijatuhkan bersamaan dengan pidana pokok berupa pidana penjara dan/atau benda.

     

    Aturan lain soal perampasan aset sebagai hukuman tambahan juga dapat kita lihat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (“UU 20/2001”) soal pidana pokok berupa pidana penjara dan denda, yakni Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor:

     

    Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

     

    Terkait Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor ini, Pasal 17 UU Pemberantasan Tipikor berbunyi:

     

    Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.

     

    Adapun yang disebut dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Pemberantasan Tipikor soal pidana tambahan adalah pidana tambahan selain pada KUHP. Sebagai pidana tambahan salah satunya adalah perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

     

    Kembali lagi mengenai perampasan aset tanpa pemidanaan, dalam Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana yang kami akses dari laman resmi Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa ketentuan mengenai perampasan aset tanpa pemidanaan ini sejalan dengan konvensi atau perjanjian internasional, salah satunya adalah Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003 (United Nation Convension Against Corruption/UNCAC, 2003) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 (“UU 7/2006”).

     

    Pasal 54 angka 1. huruf (c) UNCAC, 2003 dengan tegas meminta negara-negara:

     

    “Consider taking such measures as may be necessary to allow confiscation of such property without a criminal conviction in cases in which the offender cannot be prosecuted by reason of death, flight or absence or in other appropriate cases”.

     

    Namun, saat ini sebagai tindak lanjut keikutsertaan Indonesia dalam UNCAC, aturan soal perampasan aset tanpa pemidanaan ini memang masih berupa Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana (“RUU Perampasan Aset”).

     

    Untuk mengisi kekosongan hukum soal perampasan aset, namun dalam konteks permohonan penyidik karena yang diduga pelaku tindak pidana tidak ditemukan, Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang atau Tindak Pidana Lain (“Perma 1/2013”). Memang, tidak ada istilah ‘perampasan’ dapat ditemui dalam Perma 1/2013 ini. Perma memperhalusnya dengan frasa ‘penanganan harta kekayaan’.

     

    Dalam artikel Perma Penyitaan Aset Pencucian Uang Resmi Diterbitkan disebutkan bahwa Perma ini mengisi kekosongan hukum acara untuk pelaksanaan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (“UU TPPU”) yang mengatur mengenai hukum acara penanganan harta kekayaan. Perma ini terdiri dari tiga bagian penting, yaitu ruang lingkup, permohonan penanganan harta kekayaan, dan hukum acara penyitaan aset. Peraturan ini berlaku terhadap permohonan penanganan harta kekayaan yang diajukan oleh penyidik dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan sebagaimana dimaksud dalam UU TPPU.

     
    Adapun Pasal 67 UU TPPU itu berbunyi:
     

    (1) Dalam hal tidak ada orang dan/atau pihak ketiga yang mengajukan keberatan dalam waktu 20 (dua puluh) hari sejak tanggal penghentian sementara Transaksi, PPATK menyerahkan penanganan Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan.

    (2) Dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, penyidik dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk memutuskan Harta Kekayaan tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak.

    (3) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memutus dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari.

     

    Seperti yang diberitakan dalam artikel Perampasan Aset Cukup Putusan Hakim Pengadilan Negeri, perampasan aset diawali dengan tindakan penghentian sebagian atau seluruh transaksi oleh penyedia jasa keuangan (“PJK”) atas permintaan PPATK, demikian Pasal 65 UU TPPU. Kemudian, Pasal 66 UU TPPU menyatakan, PJK melaksanakan permintaan PPATK selama lima hari kerja setelah permintaan diterima dan diperpanjang 15 hari kerja. Perpanjangan masa penghentian sementara transaksi dimaksudkan untuk PPATK melengkapi hasil analisis guna diserahkan pada penyidik.

     

    Pasal 67 UU TPPU ini memberikan kewenangan kepada penyidik untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri agar pengadilan memutuskan Harta Kekayaan (aset) yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana menjadi aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak.

     

    Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (“PPATK”) dalam artikel Upaya MA Menyelesaikan Permohonan Perampasan Harta Kekayaan berdasarkan hasil kajiannya mengaitkan Pasal 67 ayat (3) UU TPPU dengan upaya perampasan aset tanpa pemidanaan yang dikenal dengan istilah non conviction based (NCB) asset forfeiture. Dalam sistem NCB (civil forfeiture) ini aset yang merupakan hasil atau sarana tindak pidana diposisikan sebagai subyek hukum/pihak, sehingga para pihaknya terdiri dari negara yang diwakili oleh penyidik TPPU sebagai pemohon/penuntut melawan aset yang diduga hasil atau sarana tindak pidana sebagai termohon. Mekanisme ini memungkinkan dilakukannya perampasan aset tanpa harus menunggu adanya putusan pidana yang berisi tentang pernyataan kesalahan dan penghukuman bagi pelaku tindak pidana.

     

    Sebagai informasi untuk Anda, Pasal 67 UU TPPU juga merupakan peraturan perundang-undangan Indonesia terkait dengan perampasan aset yang menjadi dasar dalam merancang RUU Perampasan Aset. Selengkapnya dapat Anda lihat dalam Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana yang kami akses dari laman resmi Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

     
    Demikian jawaban dari kami. Semoga bermanfaat.
     
    Dasar hukum:

    1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

    2.    Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;

    3.    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003);

    4.    Peraturan Mahkamah Agung Nomor Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang atau Tindak Pidana Lain.

     
    Referensi:

    1.    http://www.bphn.go.id/data/documents/na_ruu_tentang_perampasan_aset.pdf, diakses pada 13 Maret 2015 pukul 17.37 WIB.

    2.    http://www.pembaruanperadilan.net/v2/2012/07/upaya-ma-menyelesaikan-permohonan-perampasan-harta-kekayaan/, diakses pada 16 Maret 2015 pukul 17.09 WIB.

      

    Tags

    perampasan aset

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Perhatikan Ini Sebelum Tanda Tangan Kontrak Kerja

    20 Mar 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!