Saya ingin bertanya apakah ada hukum positif di Indonesia yang mengatur tentang pelarangan/penundaan eksekusi mati dikarenakan terpidana mengalami gangguan jiwa (gangguan jiwa baru dialami setelah putusan hukuman mati diputuskan dan bukan saat melakukan perbuatan tersebut)? Terima kasih atas jawabannya.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pada prinsipnya penyakit kejiwaan tidak menjadi alasan ditunda atau dibatalkannya eksekusi hukuman mati.
Dengan kata lain, tidak ada ketentuan dalam undang-undang yang memerintahkan menunda atau membatalkan eksekusi terhadap terpidana mati yang sedang sakit. Eksekusi dapat dilakukan kapan pun dan di mana pun karena itu adalah perintah Pengadilan dan tidak memandang apakah terpidana mati itu mengalami gangguan jiwa atau mengidap penyakit lain.
Penjelasan lebihlanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Ulasan:
Mengenai pemidanaan bagi seseorang yang memiliki gangguan jiwa, dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana, salah satunya adalah alasan pemaaf sebagaimana dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu (Pasal 44 KUHP).
Pasal 44
(1)Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2)Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
(3)Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Hal di atas merupakan alasan-alasan yang dapat dikemukakan oleh penasehat hukum terdakwa dalam proses persidangan sehingga apabila terbukti terdakwa kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya, maka hakim harus memerintahkan terdakwa ke dalam rumah sakit jiwa selama satu tahun untuk pemeriksaan.
Dari keterangan yang Anda berikan, terpidana mati tersebut mengalami gangguan jiwa setelah ada putusan hukuman mati dan bukan saat ia melakukan tindak pidana. Ini artinya, alasan pemaaf tidak dapat diterapkan kepada terpidana mati yang bersangkutan. Hal ini karena proses persidangan telah selesai sehingga terpidana yang dijatuhi hukuman mati telah dipandang sah melakukan perbuatan (tindak pidana) saat itu secara sadar dengan akal sehatnya sehingga gangguan jiwa yang ia alami setelah adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa ia bersalah tidak serta merta menghapus pidananya.
Jadi pada dasarnya kesehatan kejiwaan seseorang tidak mempengaruhi proses eksekusi pidana mati. Sebagai contoh, dalam artikel Sakit Jiwa dan Penundaan Eksekusi Terpidana Hukuman Matiyang kami kutip dari situs gatra.com, Dr. Reda Manthovani,.SH,. LLM (Konsul Kejaksaan pada Konsulat Jenderal RI di Hong Kong) menceritakan bahwa terpidana mati asal Curitiba Brasil bernama Rodrigo Gularte disebut telah mengidap penyakit skizofrenia paranoid dan bipolar (manik depresif), yakni gangguan kejiwaan yang bersifat berat dan kronis. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Hamonangan Laoly, menyatakan bahwa pelaksanaan eksekusi mati tak terpengaruh situasi jika ada terpidana mati yang sakit. Begitu juga eksekusi terhadap Rodrigo Gularte yang dikabarkan mengalami gangguan jiwa. Menteri menjelaskan, pada prinsipnya, tak ada ketentuan dalam undang-undang yang memerintahkan menunda atau membatalkan eksekusi terhadap terpidana mati yang sedang sakit. Eksekusi dapat dilakukan kapan pun dan di mana pun karena itu adalah perintah Pengadilan.
Senada dengan pendapat Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, HM Prasetyo menegaskan bahwa pelaksanaan eksekusi mati itu tidak memandang apakah terpidana mati itu mengalami gangguan jiwa atau mengidap penyakit lain. Pelaksanaan eksekusi mati dapat ditunda apabila terpidana itu wanita yang sedang hamil atau anak di bawah umur.
Masih bersumber dari artikel yang sama, isu soal terpidana mati yang mengalami gangguan jiwa pernah setidaknya disebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 yang menyatakan bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945 akan tetapi di masa datang seharusnya perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal penting, yakni:
1.Pertama, pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif;
2.Kedua, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun;
3.Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;
4.Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil itu melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa itu sembuh.
Namun, berdasarkan penelusuran kami, hingga kini belum ada penyesuaian peraturan perundang-undangan terkait hukuman mati terhadap terpidana mati yang memiliki gangguan kejiawaan.