Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Siapakah yang Berhak Menentukan Gila atau Tidaknya Pelaku Tindak Pidana?

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Siapakah yang Berhak Menentukan Gila atau Tidaknya Pelaku Tindak Pidana?

Siapakah yang Berhak Menentukan Gila atau Tidaknya Pelaku Tindak Pidana?
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Siapakah yang Berhak Menentukan Gila atau Tidaknya Pelaku Tindak Pidana?

PERTANYAAN

Apakah penyidik kepolisian berhak serta merta melepaskan pelaku yang diduga mengalami gangguan kejiwaan? Adapun permasalahannya adalah pelaku menggoda dan menganiaya istri orang. Terima kasih sebelumnya.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     
    Intisari:
     
     

    Penyidik kepolisian tidak berwenang untuk melepaskan pelaku yang diduga mengalami gangguan kejiwaan. Hal ini karena melepaskan pelaku karena diduga mengalami gangguan jiwa bukan merupakan alasan dilakukannya penghentian penyidikan sehingga penyidik melepaskan pelaku. Yang berhak menentukan pelaku tindak pidana itu mengalami gangguan kejiwaan kemudian pelaku tersebut tidak dapat dihukum adalah hakim pada persidangan berdasarkan bukti-bukti yang ada, salah satunya dengan mendengar keterangan ahli.

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

     
     
     
     
    Ulasan:
     

    Sebelumnya kami jelaskan sedikit mengenai pemidanaan bagi seseorang yang memiliki gangguan jiwa. Dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana, salah satunya adalah alasan pemaaf sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).

     

    Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu (Pasal 44 KUHP).

    KLINIK TERKAIT

    Apakah Orang Gila Bisa Dipidana?

    Apakah Orang Gila Bisa Dipidana?
     

    Pasal 44 ayat (1) KUHP berbunyi:

     

    Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.”

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     

    Pasal 44 ayat (2) KUHP berbunyi:

     

    Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.

     

    Aturan di atas menunjukkan bahwa apakah perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan karena pelakunya mengalami gangguan jiwa merupakan wewenang hakim saat memeriksa dan memutus perkaranya. Akan tetapi, tentu hakim menentukannya dengan berdasar pada bukti-bukti yang ada yang menerangkan pelaku memang benar memiliki gangguan jiwa sehingga perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.

     

    Hal serupa juga dijelaskan oleh R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 61). Terkait Pasal 44 KUHP, Soesilo menjelaskan bahwa dalam praktiknya jika polisi menjumpai peristiwa semacam ini, ia tetap diwajibkan memeriksa perkaranya dan membuat proses verbal. Hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu, meskipun ia dapat pula meminta nasihat dari dokter penyakit jiwa.

     

    Pada praktiknya di persidangan, untuk membuktikan seseorang mengalami gangguan kejiwaan, dihadirkan saksi ahli terkait masalah tersebut.

     

    Mengenai pembuktian terganggu jiwanya terdakwa berdasarkan keterangan ahli kejiwaan di persidangan dapat dijumpai dalam kasus seorang militer yang melakukan tindak pidana pembunuhan. Sidang Mahkamah Militer mengadili terdakwa seorang sersan mayor polisi Polda Nusra yang melakukan penembakan terhadap tiga orang hingga meninggal dunia. Berdasarkan keterangan saksi ahli Dokter Jiwa yang diuraikan dalam persidangan, ternyata terdakwa mengalami stress berat sehingga mengalami gangguan “amok” (suatu keadaan jiwa yang tidak sadar) waktu melakukan penembakan. Orang semacam ini telah terganggu pikiran sehatnya (ziekelijk storing derverstandelijk vermogens). Oleh karena itu, ia tidak memiliki unsur kesalahan sehinggal Pasal 44 KUHP dapat diterapkan dalam kasus ini. Mahkamah Agung dalam putusannya No. 33.K/Mil/1987 tanggal 27 Februari 1988 menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan sehingga dilepas dari segala tuntutan hukum.

     

    Pembuktian tersebut bisa juga tidak berasal dari ahli yang dihadirkan di persidangan, akan tetapi melalui keterangan dari rumah sakit. Hal ini dapat Anda temukan dalam kasus seorang terdakwa yang melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap hewan sapi di Makassar. Untuk detailnya, Anda dapat menyimak Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 215 K/Pid/2005. Di dalam perkara ini, Hakim Mahkamah Agung mendapatkan informasi mengenai status kejiwaan terdakwa berdasarkan Surat dari Rumah Sakit Jiwa Dadi Makassar yang menyatakan bahwa terdakwa adalah orang kurang waras (kurang mampu berpikir secara baik), bukan berasal dari keterangan ahli kejiwaan di persidangan. Berdasarkan pertimbangan itu, terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tetapi oleh karena terdakwa adalah orang kurang waras berdasarkan Surat dari Rumah Sakit tersebut, maka sesuai ketentuan pasal 44 KUHP, terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana dan dilepas dari tuntutan hukum.

     

    Selain itu, majelis hakim dapat juga memberikan kesempatan kepada jaksa untuk menghadirkan ahli psikologi forensik untuk didengar keterangannya mengenai status kejiwaan terdakwa, seperti yang ada dalam perkara Ryan, terdakwa kasus pembunuhan dengan cara mutilasi. Sebagai tambahan informasi, Anda dapat menyimak artikel PN Depok Tunggu Keterangan Ahli Psikologi dalam Perkara Ryan.

     

    Penjelasan lebih lanjut soal alasan pemaaf dapat Anda simak dalam artikel Apakah Seorang yang Gila Bisa Dipidana?

     

    Ketidakwenangan penyidik kepolisian untuk melepaskan pelaku yang diduga mengalami gangguan kejiwaan juga dapat dilihat dari kewenangan yang dimiliki oleh penyidik dalam menghentikan penyidikan.

     

    Mengenai penyidik salah satunya adalah polisi, dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) berbunyi:

     

    “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”

     

    Penyidik dalam hal ini adalah kepolisian tidaklah berwenang menentukan kejiwaan seorang pelaku tindak pidana kemudian melepaskannya begitu saja. Hal ini berkaitan dengan tugas tugas penyidik berdasarkan Pasal 7 ayat (1) KUHAP yaitu:

    1.    menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;

    2.    melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

    3.    menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

    4.    melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

    5.    melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

    6.    mengambil sidik jari dan memotret seorang;

    7.    memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

    8.    mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

    9.    mengadakan penghentian penyidikan;

    10.mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

     

    Terkait tugas penyidik mengadakan penghentian penyidikan, harus dilihat kembali apa saja syarat untuk dilakukannya penghentian penyidikan sebagaimana terdapat dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP:

    a.    tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut

    yaitu apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka.  

    b.    peristiwa yang disidik oleh penyidik ternyata bukan merupakan tindak pidana

    c.    atau penyidikan dihentikan demi hukum

    Alasan ini dapat dipakai apabila ada alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana, yaitu antara lain karena ne bis in idem, tersangka meninggal dunia, atau karena perkara pidana telah kedaluwarsa.

     

    Penjelasan lebih lanjut soal penghentian penyidikan dapat Anda simak dalam artikel SP3.

     

    Dari beberapa hal di atas soal penghentian penyidikan dapat kita ketahui bahwa penghentian penyidikan tidak dilakukan dalam hal pelaku tindak pidana ternyata mengalami gangguan kejiwaan. Dengan demikian, hal tersebut semakin menegaskan bahwa penyidik kepolisian tidak berwenang melepaskan pelaku tindak pidana yang diduga mengalami gangguan kejiwaan, hakimlah yang berwenang untuk menentukan apakah pelaku mengalami gangguan kejiwaan berdasarkan bukti yang ada melalui pemeriksaan di pengadilan.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

    2.    Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

     
    Putusan:

    1.    Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 215 K/Pid/2005;

    2.    Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 33.K/Mil/1987 tanggal 27 Februari 1988.

        

    Tags

    gangguan jiwa
    hukum

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Pasal Penipuan Online untuk Menjerat Pelaku

    27 Des 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!