KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hak Asuh Anak Jika Cerai karena Pindah Agama

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Hak Asuh Anak Jika Cerai karena Pindah Agama

Hak Asuh Anak Jika Cerai karena Pindah Agama
Nafiatul Munawaroh, S.H., M.HSi Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Hak Asuh Anak Jika Cerai karena Pindah Agama

PERTANYAAN

Apakah cerai karena pindah agama diperbolehkan? Saya dan istri menikah secara Kristen Protestan di gereja. Istri semula beragama Islam dan pindah agama menjadi Kristen Protestan dengan kerelaan sendiri. Setelah menikah selama 6 tahun dan memiliki dua anak perempuan (pertama 4 tahun, kedua 2 tahun), istri saya pergi meninggalkan saya dan membawa anak-anak serta barang-barang dari rumah. Alasan istri saya pergi hanya karena ingin kembali ke agama Islam. Jika terjadi perceraian, siapa yang berhak atas hak asuh anak? Apakah istri berhak atau boleh membawa barang-barang dari rumah? Apakah istri berhak atau boleh mengajarkan agama Islam kepada anak-anak yang selama ini sudah beragama Kristen Protestan tanpa seizin dan sepengetahuan saya? Mohon penjelasannya. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Seputar keinginan cerai karena pindah agama, kami rangkum sebagai berikut. Mengenai hak asuh, pada umumnya, pemeliharaan anak yang masih di bawah umur biasanya diserahkan kepada orang tua terdekat dan akrab dengan si anak yaitu Ibu.

    Kemudian terkait barang-barang yang dibawa oleh istri, jika barang-barang tersebut adalah harta bawaannya, maka sah saja istri membawa barang-barang tersebut. Akan tetapi, jika barang-barang tersebut termasuk harta bersama, maka hal itu tidak boleh dilakukan.

    Terakhir terkait agama yang diajarkan kepada anak, untuk pengajaran agama ini sebaiknya disepakati bersama dan/atau diserahkan kembali kepada anak tanpa ada paksaan bahwa anak harus mengikuti suatu agama tertentu.

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul Hak Asuh dalam Hak Cerai karena Istri Pindah Agama yang dibuat oleh NAYARA Advocacy dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 18 November 2015, dan pertama kali dimutakhirkan pada Kamis, 1 September 2022.

    KLINIK TERKAIT

    Langkah Jika Ayah Tidak Mau Menikahkan Anaknya

    Langkah Jika Ayah Tidak Mau Menikahkan Anaknya

     

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Kami simpulkan, ada tiga pertanyaan mendasar yang ditanyakan sehubungan dengan permasalahan cerai karena pindah agama yang menimpa Anda saat ini. Pertama soal hak asuh anak. Kedua soal hak istri atas barang-barang di rumah. Ketiga tentang pengajaran agama oleh istri. Simak pemaparannya berikut ini.

     

    Hak Asuh Anak Setelah Bercerai

    Menjawab pertanyaan tentang hak asuh anak, Pasal 41 UU Perkawinan menerangkan bahwa apabila terjadi perceraian, akibat hukum yang terjadi ialah:

    1. Bapak dan ibu berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
    2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan itu. Bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; dan
    3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

    Kemudian, merujuk kepada Yurisprudensi MA 126K/PDT/2001, pemeliharaan anak yang masih di bawah umur biasanya diserahkan kepada orang tua terdekat dan akrab dengan si anak yaitu ibu.

    Namun demikian, jika merujuk Pasal 49 UU Perkawinan, hak kekuasaan terhadap anak dapat dicabut untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa, atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:

    1. orang tua yang dimaksud melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; dan/atau
    2. orang tua yang dimaksud berkelakuan buruk sekali.

     

    Hak Istri Membawa Barang-Barang

    Terkait barang-barang, perlu diketahui apakah barang-barang yang dibawa tersebut merupakan harta bersama atau harta bawaan Istri. Apabila merupakan harta bawaan atau harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan,[1] istri Anda mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.[2]

    Namun, apabila ternyata barang-barang yang dibawa adalah harta bersama, yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan,[3] maka istri tidak berhak membawa harta bersama tanpa sepengetahuan dan seizin Anda.[4]

    Selain itu, yang perlu diperhatikan pula, apakah ada perjanjian yang disepakati antara Anda dan istri mengenai harta bersama tersebut. Apabila ada perjanjian bahwa Anda memberikan atau membelikan barang yang menjadi harta bersama untuk istri dan disepakati untuk dikuasai sepenuhnya oleh istri, maka istri Anda berhak (atas kesepakatan tersebut) melakukan perbuatan hukum atas barang tersebut.

    Adapun apabila Anda tidak yakin dengan kepemilikan dan penguasaan barang-barang yang dibawa istri dan hendak mempermasalahkan barang-barang tersebut, langkah pertama yang dapat Anda lakukan adalah sebagai berikut.

    1. Sesuai dengan Yurisprudensi MA 1020 K/Pdt/1986 yang pada intinya menentukan bahwa suatu gugatan perceraian dan gugatan harta bersama tidak dapat diajukan secara bersamaan, Anda harus mengajukan gugatan perceraian terlebih dahulu kepada istri Anda sebelum mempermasalahkan harta yang dibawa istri Anda tersebut.
    2. Adapun gugatan perceraian terhadap istri Anda diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi kediaman istri. Kemudian, apabila kediaman istri tidak jelas maka diajukan kepada pengadilan pada wilayah hukum kediaman Anda. Apabila ternyata istri Anda pergi bersama anak-anak Anda ke luar negeri maka gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan di wilayah hukum Anda dan Ketua Pengadilan akan mengajukan permohonan tersebut kepada istri Anda melalui Perwakilan.[5]
    3. Setelah putusan gugatan perceraian Anda telah memiliki kekuatan hukum, merujuk Pasal 37 UU Perkawinan, perkawinan yang putus karena perceraian dapat meminta pengadilan untuk memutus harta bersama. Terkait hal ini, merujuk Yurisprudensi MA 424.K/Sip.1959, pada prinsipnya seluruh harta bersama adalah dibagi dua antara suami dan istri.
    4. Selanjutnya, apakah dapat mempermasalahkan harta bersama tanpa ada perceraian? Dengan menginterpretasikan Yurisprudensi MA 1020 K/Pdt/1986 tersebut, dapat disimpulkan bahwa gugatan gono-gini tidak dapat diproses tanpa adanya perceraian terlebih dahulu.

     

    Hak Istri Mengajarkan Agama Asal Kepada Anak-Anak

    Tindakan istri Anda yang mengajarkan agama kepada anak merupakan salah satu implementasi kewajiban orang tua dalam mendidik anak berdasarkan Pasal 45 UU Perkawinan.

    Namun demikian, mengingat Pasal 45 UU Perkawinan pula yang mengatur bahwa pihak yang mendidik dan mengajarkan anak disini adalah “kedua orang tua” sehingga pengajaran dan pendidikan tersebut haruslah dilakukan oleh kedua orang tua.

    Oleh karena Anda dan istri tidak sepaham dengan agama yang diajarkan pun saat ini terjadi persoalan cerai karena pindah agama, menurut kami adalah tidak bijak untuk menyatakan bahwa suatu agama tertentu adalah agama yang tidak baik.

    Pasalnya, semua agama adalah baik dan ajarannya mengajarkan hal yang baik pula. Dengan demikian, untuk pengajaran agama ini sebaiknya disepakati bersama dan/atau diserahkan kembali kepada anak tanpa ada paksaan bahwa anak harus mengikuti suatu agama tertentu.

    Demikian jawaban dari kami terkait jawaban atas masalah seputar cerai karena pindah agama sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.

     

     

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
    2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

     

    Yurisprudensi:

    1. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 424.K/Sip.1959, tanggal 9 Desember 1959;
    2. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1020 K/Pdt/1986, tanggal 8 September 1987;
    3. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 126K/PDT/2001, tanggal 28 Agustus 2003.

    [1] Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)

    [2] Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan

    [3] Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan

    [4] Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan

    [5] Pasal 20 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

    Tags

    cerai
    hak asuh

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Catat! Ini 3 Aspek Hukum untuk Mendirikan Startup

    9 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!