Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hak Waris Anak yang Sudah Mempunyai Ayah Tiri

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Hak Waris Anak yang Sudah Mempunyai Ayah Tiri

Hak Waris Anak yang Sudah Mempunyai Ayah Tiri
NAYARA AdvocacyNAYARA Advocacy
NAYARA Advocacy
Bacaan 10 Menit
Hak Waris Anak yang Sudah Mempunyai Ayah Tiri

PERTANYAAN

Kerabat saya sebut saja (A) pernah berhubungan dengan seorang wanita sebut saja (B). Kemudian si B hamil dan si A menikahinya secara bawah tangan dan kemudian menceraikannya juga secara adat setelah kelahiran anak yang dikandung si B. Dalam pernikahan dengan si B, si A menikah juga dengan si C secara resmi. Kemudian si B juga menikah lagi dengan pria lain sebut saja si (D). Anak hasil hubungan si A dan si B (anaknya perempuan) kemudian dibuatkan akta kelahiran atas nama si B dan si D. Yang ingin saya tanyakan: 1) apakah anak tersebut bisa mendapatkan dan menuntut hak waris dari ayah biologisnya (A), mengingat si (A) dan istri sahnya (C) memiliki 2 anak perempuan dan 1 anak laki-laki? 2) Kalau dapat, apakah jumlah pembagiannya sama dengan anak dari istri sah? Sebagai informasi, mereka semuanya beragama Islam. Mohon pencerahannya.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

     

    KLINIK TERKAIT

    Hukum Kawin Kontrak di Indonesia

    Hukum Kawin Kontrak di Indonesia
    Logo Nayara

    NAYARA Advocacy merupakan lawfirm yang mengkhususkan keahliannya dalam bidang hukum perorangan dan hukum keluarga.

    Untuk berdiskusi lebih lanjut silakan hubungi +62 21 5200381 / 5208348 atau email [email protected].

    Website : http://www.nayaraadvocacy.com

     

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Intisari 

     

     

    Sang anak tidak berhak mendapat bagian waris dari A karena merupakan anak luar kawin A yang tidak pernah diakui ataupun disahkan. Atas hal tersebut, maka tidak ada jumlah pembagian dari harta warisan A yang dapat dibagi kepada sang anak dimaksud.

     

    Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini.

     

     

     

    Ulasan:

     

    Kami sampaikan terima kasih atas pertanyaan Anda. Kami akan mencoba menjawab permasalahan kerabat Anda dari sisi hukum yang berlaku.

     

    Pertama-tama kami berasumsi bahwa pernikahan tersebut telah terjadi dan dilangsungkan berdasarkan hukum Islam walau terdapat penyebutan istilah “menikah bawah tangan” dan “bercerai secara adat” dalam keterangan Anda.

     

    Untuk menjawab apakah sang anak dapat memperoleh dan menuntut hak waris dari sang ayah biologis, perlu ditelaah terlebih dahulu ketentuan Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang mengatur mengenai siapakah yang dapat menjadi Ahli Waris, sebagai berikut:

    1.    orang-orang yang pada saat Pewaris meninggal memiliki hubungan darah dengan Pewaris atau terikat hubungan pernikahan dengan Pewaris;

    2.    beragama Islam; dan

    3.    tidak terhalang untuk menjadi Ahli Waris.

     

    Berikut akan kami jelaskan satu persatu persyaratan di atas:

     

    Syarat Pertama

    Apa yang dimaksud memiliki hubungan darah dengan Pewaris?

    Yang termasuk golongan hubungan darah dengan Pewaris terbagi menjadi:[1]

    1.    Golongan laki-laki : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.

    2.    Golongan perempuan : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.

     

    Apa pembuktian bahwa seseorang memiliki hubungan darah dengan Pewaris (dalam hal ini anak)?

    Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.[2] Apabila tidak ada akta kelahiran atau alat bukti lainnya maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah. Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama mengeluarkan akta kelahiran anak tersebut.

     

    Apa yang dimaksud dengan terikat hubungan pernikahan dengan Pewaris?

    Berdasarkan Pasal 174 ayat (1) butir b KHI adalah duda atau janda dari si pewaris.

     

    Apa pembuktian bahwa seseorang terikat hubungan pernikahan dengan Pewaris?

    Terikatnya hubungan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.[3] Apabila perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya (pengesahan nikah siri) ke Pengadilan Agama.[4] Namun itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas hanya mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:[5]

    a.    Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;

    b.    Akta Nikah hilang;

    c.    Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;

    d.    Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”);

    e.    Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU Perkawinan.

     

    Syarat Kedua

    Pembuktian seseorang beragama islam adalah dengan Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragam menurut ayahnya atau lingkungannya.[6]

     

    Syarat Ketiga

    Yang terhalang menjadi Ahli Waris adalah orang yang dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat Pewaris, atau orang tersebut dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukum 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.[7] Perlu untuk dicatat bahwa tindakan tersebut harus dinyatakan oleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.

     

    Berdasarkan keterangan Anda diperoleh fakta sebagai berikut:

    1.    A dan B menikah secara agama Islam pada saat B mengandung anak dari A (katakan misalnya X);

    2.    Kemudian A dan B bercerai secara agama Islam setelah X lahir;

    3.    Tidak ada informasi mengenai pencatatan perkawinan A dan B kepada Pegawai Pencatat Nikah;

    4.    B kemudian menikah lagi dengan D dan membuat akta kelahiran untuk sang anak X atas nama B dan D sebagai orang tuanya;

    5.    Dengan demikian disimpulkan tidak ada pengesahan anak atau pengakuan anak yang telah dilakukan dalam perkawinan A dan B.

     

    Pernikahan yang dilakukan antara A dan B adalah sah secara agama dan memenuhi Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dan Pasal 4 KHI. Pernikahan juga dilakukan ketika B mengandung anak A selaku pria yang menghamili A sebagaimana diatur dalam Pasal 53 KHI.

     

    Namun demikian, berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, Pasal 5 KHI dan Pasal 6 KHI, perkawinan secara agama haruslah dicatatkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Perkawinan secara agama walaupun sah namun tidak dilakukan pencatatan secara sah berdasarkan undang-undang yang berlaku maka perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan karenanya dianggap tidak pernah ada dalam catatan negara atau dengan kata lain perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara.

     

    Oleh karena perkawinan tidak dicatatkan, tidak ada pengakuan atau pengesahan anak, maka status sang anak tidak dapat dikategorikan sebagai anak sah sebagaimana ditentukan Pasal 99 KHI jo. Pasal 42 UU Perkawinan. Dengan demikian, sang anak tidak memiliki hubungan perdata sama sekali dengan A selaku sang ayah biologis. Adapun hubungan perdata yang dimiliki sang anak hanyalah dengan B sebagai ibu kandung sesuai dengan Pasal 100 KHI jo. Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan.

     

    Akibat dari tidak adanya hubungan perdata antara sang anak dengan A selaku ayah biologisnya, maka menyebabkan sang anak dan A tidak memiliki hubungan saling mewaris. Hubungan saling mewaris hanya antara sang anak dengan B selaku ibunya sebagaimana ditentukan Pasal 186 KHI dan penjelasannya, sebagai berikut:

     

    Pasal 186 KHI:

    Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.

     

    Penjelasan Pasal 186:

    Yang dimaksud dengan anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah atau akibat hubungan yang tidak sah.

     

    Berdasarkan seluruh penjelasan kami di atas maka dapat disimpulkan bahwa sang anak tidak berhak mendapat bagian waris dari A karena sang merupakan anak luar kawin A yang tidak pernah diakui ataupun disahkan. Atas hal tersebut, maka tidak ada jumlah pembagian dari harta warisan A yang dapat dibagi kepada sang anak dimaksud.

     

    Dasar Hukum:

    1.    Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

    2.    Kompilasi Hukum Islam.

     



    [1] Pasal 174 ayat (1) KHI

    [2] Pasal 103 KHI

    [3] Pasal 7 ayat (1) KHI

    [4] Pasal 7 ayat (2) KHI

    [5] Pasal 7 ayat (3) KHI

    [6] Pasal 172 KHI

    [7] Pasal 173 KHI

     

    Tags

    hukumonline
    anak

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Pindah Kewarganegaraan WNI Menjadi WNA

    25 Mar 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!