Apakah Perkara Pemilu Masuk ke Dalam Ranah Hukum Pidana?
PERTANYAAN
Apakah perkara pemilu masuk ke dalam ranah hukum pidana?
Pro
Pusat Data
Koleksi terlengkap dan terkini berisi peraturan putusan pengadilan preseden serta non-preseden
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab tentang berbagai persoalan hukum, mulai dari hukum pidana hingga perdata, gratis!
Berita
Informasi terkini tentang perkembangan hukum di Tanah Air, yang disajikan oleh jurnalis Hukumonline
Jurnal
Koleksi puluhan ribu artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk berbagai penelitian hukum Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
Apakah perkara pemilu masuk ke dalam ranah hukum pidana?
Intisari:
Perkara pemilu bisa masuk ranah pidana sepanjang tindakan yang dilakukan merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pidana yang diatur dalam UU 42/2008. Penyelesaian pelanggaran pidana dilaksanakan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Penjelasan lebih lanjut dan contoh dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
|
Ulasan:
Sebelumnya, pemilihan umum (“pemilu”) pada dasarnya terbagi menjadi 2 (dua) yaitu pemilu anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan pemilu Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Kami asumsikan bahwa perkara pemilu yang Anda maksud di sini yaitu sengketa pelanggaran pemilu.
Oleh karena itu, guna menyederhanakan jawaban kami, kami memilih untuk menjelaskan salah satu pemilu di atas, yakni pemilu presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (“UU 42/2008”).
Jika memang terjadi pelanggaran atau perkara dalam penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden, maka ini menjadi wewenang dari Badan Pengawas Pemilu (“Bawaslu”), Panitia Pengawas Pemilu (“Panwaslu”) provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri untuk menerima laporan pelanggaran Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.[1]
Laporan tersebut disampaikan secara tertulis kepada Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dengan paling sedikit memuat:[2]
a. nama dan alamat pelapor;
b. pihak terlapor;
c. waktu dan tempat kejadian perkara; dan
d. uraian kejadian.
Berdasarkan penelusuran kami dalam UU 42/2008, pelanggaran pemilu ini terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Pelanggaran Administrasi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden[3]
Pelanggaran administrasi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diselesaikan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota berdasarkan laporan dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota sesuai dengan tingkatannya.[4]
2. Pelanggaran Pidana Pemilu Presiden dan Wakil Presiden[5]
Pelanggaran pidana Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam Undang-Undang ini yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.[6]
Jadi, menjawab pertanyaan Anda, perkara pemilu itu bisa masuk ranah pidana sepanjang tindakan yang dilakukan merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pidana yang diatur dalam UU 42/2008.
Contoh Perkara Pemilu Termasuk Ranah Pidana
Sebagai contoh, ada anggota KPU yang melanggar kewajibannya untuk menindaklanjuti temuan Bawaslu, maka ia dapat diancam pidana berdasarkan Pasal 205 UU 42/2008:
Setiap anggota KPU yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu dalam melaksanakan verifikasi kebenaran dan kelengkapan administrasi Pasangan Calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Komisioner Bawaslu, Daniel Zuchron dalam artikel Penyelenggara Pemilu Mudah Dijerat Pidana menjelaskan, baik UU Pemilu Legislatif maupun UU 42/2008 telah mengarahkan agar penyelenggara pemilu profesional. Sayangnya, tidak sedikit penyelenggara Pemilu khususnya di tingkat bawah yang terindikasi kuat melakukan pelanggaran. Keterlibatan oknum penyelenggara Pemilu itu paling banyak terjadi pada tahap pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara. Sebagai upaya menindaklanjuti hal tersebut, Daniel menjelaskan Bawaslu telah mengambil tindakan, seperti memproses secara pidana dan etik kepada yang bersangkutan.
Bawaslu menyadari bahwa UU membuka peluang lebar untuk memidanakan penyelenggara Pemilu yang disinyalir melakukan kecurangan dan pelanggaran atau tidak melaksanakan tugas sebagaimana mestinya. Proses pembuktian untuk menyeret penyelenggara Pemilu ke ranah pidana menurut Daniel sangat mudah. Misalnya, Panitia Pemungutan Suara (PPS) wajib memampang hasil pemungutan suara dari seluruh TPS yang ada di kelurahan atau desa yang menjadi wilayahnya. Untuk membuktikan apakah penyelenggara Pemilu tingkat kelurahan atau desa itu sudah melakukan kewajibannya, maka pengawas Pemilu tinggal melihat apakah hasil pemungutan suara seluruh TPS itu sudah dipajang di kantor Kelurahan atau belum.
Jika PPS belum memampang hasil pemungutan suara menurut Daniel tergolong mudah bagi pengawas menindaklanjuti temuan itu ke ranah pidana. Atas dasar itu Daniel menegaskan ancaman pidana bagi penyelenggara Pemilu yang diatur UU 42/2008 adalah nyata.
Contoh lain
Beberapa contoh lain pelanggaran pemilu presiden yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana adalah sebagai berikut:
1. Menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk berkampanye.[7]
2. Mengikutsertakan PNS, TNI, Polri dan Kepala Desa dalam kampanye.[8]
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
[1] Pasal 190 ayat (1) UU 42/2008
[2] Pasal 190 ayat (3) UU 42/2008
[3] BAB XVIII Paragraf 2 UU 42/2008
[4] Pasal 192 UU 42/2008
[5] BAB XVIII Paragraf 3 UU 42/2008
[6] Pasal 195 UU 42/2008
[7] Pasal 41 ayat (1) jo Pasal 45 UU 42/2008
[8] Pasal 41 ayat (2) jo Pasal 45 UU 42/2008
Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!
Butuh lebih banyak artikel?