Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hukumnya Memberikan Uang untuk Dosen agar Lulus Ujian Skripsi

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Hukumnya Memberikan Uang untuk Dosen agar Lulus Ujian Skripsi

Hukumnya Memberikan Uang untuk Dosen agar Lulus Ujian Skripsi
Muhammad Yasin, S.H., M.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Hukumnya Memberikan Uang untuk Dosen agar Lulus Ujian Skripsi

PERTANYAAN

Memberikan amplop yang berisi uang sebelum ujian skripsi kepada dosen-dosen yang akan menguji mahasiswa seakan menjadi suatu hal yang biasa di fakultas saya. Para dosen mengatakan itu dengan istilah "uang partisipasi". Menurut beberapa cerita dari teman-teman saya, yang tidak memberikan "uang partisipasi" tersebut akan dipersulit oleh para dosen dalam kelulusan. Hal tersebut sudah terulang-ulang terjadi sehingga sudah menjadi tradisi buruk di fakultas saya. Saya merasakan hal tersebut tidak benar dan suatu pemerasan kepada mahasiswa. Yang ingin saya tanyakan adalah apakah kasus tersebut melanggar hukum? Sebagai mahasiswa, apa yang saya harus lakukan? Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Intisari:

    KLINIK TERKAIT

    Dosen Cabuli Mahasiswi, Ini Jerat Hukumnya

    Dosen Cabuli Mahasiswi, Ini Jerat Hukumnya

     

     

    Pemberian ‘uang partisipasi’ dari mahasiswa kepada dosen tetap di Perguruan Tinggi Negeri dengan tujuan agar lulus ujian skripsi bisa dikategorikan sebagai perbuatan gratifikasi. Gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah perbuatan yang dilarang dan pelakunya bisa dianggap melanggar hukum. Sesuai Pasal 12B ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap jika berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya.

     

    Namun untuk memastikan perbuatan itu melawan hukum atau tidak, sebaiknya mahasiswa mengklarifikasi apakah pemberian kepada dosen itu benar adanya, jangan-jangan memang ada biaya legal penyelenggaraan ujian skripsi. Jika ‘uang partisipasi’ itu adalah biaya ujian skripsi yang punya dasar hukum, maka tuduhan gratifikasi itu lemah. Kalau mahasiswa tak setuju, ia bisa melaporkan ‘uang partisipasi’ kepada atasan dosen seperti Dekan dan Rektor.

     

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Ulasan:

     

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Sebelumnya, guna menyederhanakan jawaban, kami asumsikan dosen yang Anda maksud dalam pertanyaan adalah dosen pada Perguruan Tinggi Negeri, dalam arti dosen tetap. Dosen menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (“UU 14/2005”) adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.[1]

     

    Kewajiban Dosen

    Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berkewajiban:[2]

    a.    melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat;

    b.    merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;

    c.   meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;

    d.   bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang sosioekonomi peserta didik dalam pembelajaran;

    e.   menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika; dan

    f.     memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

     

    Penilaian dan Penentuan Kelulusan Mahasiswa oleh Dosen

    Ujian skripsi atau ujian lain seperti Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS) bisa menjadi momok menakutkan bagi mahasiswa, apalagi jika mahasiswa tidak belajar, jarang masuk kelas, dan tidak membaca bahan-bahan kuliah. Ujian skripsi menjadi lebih penting dibanding ujian lain lantaran ujian skripsi adalah bagian akhir dari perjuangan menuntut ilmu di kampus.

     

    Dalam menghadapi ujian skripsi, kunci utamanya adalah belajar. Sebab, penilaian dosen sejatinya didasarkan pada jawaban yang diberikan mahasiswa atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Dosen berhak memiliki kebebasan dalam memberikan ‘penilaian dan menentukan kelulusan peserta didik’.[3] Tetapi kebebasan itu bukan tanpa ukuran. Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 tentang Dosen (“PP 37/2009”) menegaskan:

    (1)  Dosen memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan menentukan kelulusan mahasiswa sesuai dengan kriteria dan prosedur yang ditetapkan oleh perguruan tinggi dan peraturan perundang-undangan.

    (2)  Penilaian dan penentuan kelulusan mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dosen secara objektif, transparan, dan akuntabel.

     

    Dari rumusan itu jelas bahwa penilaian dosen harus menggunakan ukuran objektivitas, transparansi, dan akuntabilitas. Objektif mengandung arti penilaian tidak diskriminatif; transparansi berarti penilaian dosen bisa diakses; dan akuntabel berarti dosen bisa mempertanggungjawabkan penilaiannya.

     

    Dalam konteks kasus yang Anda sampaikan, berarti penilaian ujian skripsi tidak bisa didasarkan pada pemberian ‘uang partisipasi’. Pemberian uang partisipasi kepada dosen tetap di Perguruan Tinggi Negeri bisa berpotensi melanggar hukum, yakni larangan pemberian gratifikasi kepada penyelenggara negara dan Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) atau Aparatur Sipil Negara (“ASN”).

     

    Bahkan pemberian seorang mahasiswa kepada dosen dianggap sebagai salah satu pola korupsi di dunia pendidikan, seperti yang mengemuka dalam Anti Corruption Summit 2016 di UGM Yogyakarta:[4]

    Selama ini pemberian  sesuatu seorang mahasiswa kepada dosen dianggap sebagai suatu yang biasa dan kadang menjadi kebiasaan. Sebagai bentuk rasa terima kasih atau ingin mendapatkan perhatian atau nilai yang baik, tidak jarang mahasiswa memberikan sesuatu baik dalam bentuk barang maupun uang kepada dosennya.

     

    Secara etika dan moralitas akademik, pemberian ‘uang partisipasi’ tidak dapat dibenarkan, dan menjadi kewajiban dosen untuk menjaga moralitas akademik itu. Pemberian mahasiswa kepada dosen dikategorikan sebagai korupsi skala kecil. Meskipun skalanya kecil, jumlahnya akan besar jika dilakukan secara berulang. Perbuatan itu menyimpang dari moralitas akademik.[5]

     

    Pemberian “Uang Partisipasi”

    Lalu, sesuai pertanyaan Anda, apakah perbuatan itu melanggar hukum? Jika pemberian yang Anda maksudkan dikategorikan sebagai gratifikasi, maka gratifikasi semacam itu bisa menyeret pelakunya hingga ke pengadilan. Persoalannya, tak semua gratifikasi otomatis bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 31/1999”) dan perubahannya, atau dipersalahkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

     

    Dari sisi subjek hukumnya saja, gratifikasi dilarang oleh hukum jika melibatkan penyelenggara negara, PNS, atau ASN. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ("UU ASN”) juga sudah mewanti-wanti agar ASN tidak melakukan praktik tidak terpuji.

     

    Pasal 12 UU ASN menyebutkan:

    Pegawai ASN berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum  pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang  profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

     

    Jika tidak punya dasar hukum yang jelas, pemberian ‘uang partisipasi’ itu bisa dikategorikan gratifikasi. Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 menyebutkan:

    Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

    a.    yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

    b.    yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum

     

    Namun patut dicatat bahwa yang disasar dalam pasal di atas adalah PNS atau penyelenggara negara. Sedangkan dosen-dosen di Perguruan Tinggi Swasta yang bukan PNS sulit untuk dijerat dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) atau UU ASN. Selain itu, patut juga dicatat pelaku yang melaporkan gratifikasi pada tenggang waktu yang ditentukan dikecualikan dari ancaman pidana. Pada praktiknya, ada pula batas-batas minimal nilai gratifikasi. Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan karakteristik dan bentuk-bentuk gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan.[6]

     

    Langkah yang Dapat Dilakukan

    Kami tidak tahu persis apakah praktik ‘uang partisipasi’ dalam ujian skripsi itu punya dasar hukum atau tidak. Sebaiknya, Anda benar-benar memastikan lebih dahulu, jangan-jangan memang ada biaya legal penyelenggaraan ujian skripsi, yang kemudian dinamakan ‘uang partisipasi’. Di beberapa kampus yang kami ketahui, ada Peraturan Rektor tentang Penyelenggaraan Ujian Skripsi. Dalam peraturan semacam ini biasanya diatur mengenai persyaratan ujian skripsi. Jika ternyata benar ada SK Rektor atau SK Dekan, maka keberatan terhadap ‘uang partisipasi’ itu bisa diajukan melalui mekanisme internal dan eksternal. Mekanisme internal adalah menanyakan baik-baik latar belakang terbitnya SK. Mekanisme eksternal adalah menggugat SK itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

     

    Ada baiknya Anda mengklarifikasi dulu pemberian ‘uang partisipasi’ itu agar tuduhan tidak bersifat fitnah, misalnya hanya berdasarkan gosip dari mulut ke mulut. Jika sudah bisa memastikan praktik tak terpuji itu ada, Anda bisa melaporkan ke atasan dosen bersangkutan seperti pimpinan fakultas atau rektorat. Dengan cara itu, mahasiswa ikut berperan menciptakan lingkungan kampus yang bersih dari praktik-praktik korupsi.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1.    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara;

    2.    Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen;

    3.  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

    4.    Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil;

    5.    Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 tentang Dosen.

     

    Referensi:

    1.    Laras Susanti (penyunting). Konsolidasi Perguruan Tinggi dalam Pemberantasan Korupsi. Yogyakarta: Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM, 2016.

    2.    Komisi Pemberantasan Korupsi. Pedoman Pengendalian Gratifikasi. 2015.


    [1] Pasal 1 angka 2 UU 14/2005

    [2] Pasal 60 UU 14/2005

    [3] Pasal 51 ayat (1) huruf f UU 14/2005

    [4]Laras Susanti (penyunting). Konsolidasi Perguruan Tinggi dalam Pemberantasan Korupsi: (Yogyakarta: Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM, 2016), hal. 185.

    [5] Laras Susanti, hal. 9.

    [6]Komisi Pemberantasan Korupsi. Pedoman Pengendalian Gratifikasi. 2015.

     

    Tags

    kampus
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    TIPS HUKUM

    Begini Cara Hitung Upah Lembur Pada Hari Raya Keagamaan

    24 Mar, 2023 Bacaan 10 Menit
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!