Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bolehkah Perampasan Aset Dilakukan Tanpa Ada Penyitaan Lebih Dulu?

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Bolehkah Perampasan Aset Dilakukan Tanpa Ada Penyitaan Lebih Dulu?

Bolehkah Perampasan Aset Dilakukan Tanpa Ada Penyitaan Lebih Dulu?
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Bolehkah Perampasan Aset Dilakukan Tanpa Ada Penyitaan Lebih Dulu?

PERTANYAAN

Apakah boleh jika pengadilan memutuskan merampas aset terdakwa (misal aset korupsi) tanpa adanya proses penyitaan terlebih dahulu?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pernah dipublikasikan pada Kamis, 17 Maret 2016.

     

    Intisari:

    KLINIK TERKAIT

    Arti Asset Forfeiture

    Arti <i>Asset Forfeiture</i>

     

     

    Penyitaan dan perampasan adalah dua hal yang berbeda. Perbedaannya adalah penyitaan bersifat sementara, dimana barang milik seseorang dilepaskan darinya untuk keperluan pembuktian (baik pembuktian di tingkat penyidikan, penuntutan maupun pengadilan). Jika terbukti barang yang disita tersebut merupakan hasil tindak pidana, maka tindakan selanjutnya terhadap barang itu adalah dirampas untuk negara melalui putusan pengadilan terlebih dahulu. Jika tidak terbukti, maka barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya.

     

    Sedangkan, perampasan hanya dapat dilakukan berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa barang tersebut dirampas oleh negara. Perampasan aset hanya boleh dilakukan dengan adanya penyitaan terlebih dahulu.

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

     

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Ulasan:

     

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Perampasan Aset dan Penyitaan

    Di Indonesia aturan tentang perampasan aset masih berupa rancangan undang-undang (“RUU Perampasan Aset”). Dalam RUU tersebut, perampasan didefinisikan sebagai upaya paksa pengambilalihan hak atas kekayaan atau keuntungan yang telah diperoleh, atau mungkin telah diperoleh oleh orang dari tindak pidana yang dilakukannya baik di Indonesia atau di negara asing.

     

    Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), perampasan dalam sistem hukum pemidanaan di Indonesia itu dikenal sebagai salah satu pidana (hukuman) tambahan.[1] Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam Hukum Indonesia.

     

    Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) mengenai perampasan dapat dilihat dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP sebagai berikut:

     

    “Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.”

     

    Sedangkan definisi penyitaan dapat dilihat dalam KUHAP, yaitu serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.[2]

     

    Terkait perampasan aset, seperti yang diberitakan dalam artikel Perampasan Aset Cukup Putusan Hakim Pengadilan Negeri, Hakim di Pengadilan Negeri punya tambahan tugas. Yaitu menetapkan perampasan aset hasil tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lain. Kewenangan itu, bersifat final dan mengikat. Perampasan aset diawali dengan tindakan penghentian sebagian atau seluruh transaksi oleh Penyedia Jasa Keuangan (“PJK”) atas permintaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (“PPATK”).[3]

     

    Kemudian, PJK melaksanakan permintaan PPATK selama lima hari kerja setelah permintaan diterima dan dapat diperpanjang 15 hari kerja. Perpanjangan masa penghentian sementara transaksi dimaksudkan untuk PPATK melengkapi hasil analisis guna diserahkan pada penyidik. Pasal 67 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan kewenangan kepada penyidik untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri agar pengadilan memutuskan Harta Kekayaan (aset) yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana menjadi aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak.

     

    Jadi, penyitaan dan perampasan adalah dua hal yang berbeda. Perbedaannya adalah penyitaan bersifat sementara, dimana barang milik seseorang dilepaskan darinya untuk keperluan pembuktian (baik pembuktian di tingkat penyidikan, penuntutan maupun pengadilan). Jika terbukti barang yang disita tersebut merupakan hasil tindak pidana, maka tindakan selanjutnya terhadap barang itu adalah dirampas untuk negara melalui putusan pengadilan. Jika tidak terbukti, maka barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya. Sedangkan, perampasan hanya dapat dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang menyatakan bahwa barang tersebut dirampas oleh negara.

     

    Barang Sitaan dan Barang Rampasan

    Sebagai informasi tambahan untuk Anda, bersumber dari Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 16 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara Pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (“Permenkumham 16/2014”), pengertian benda sitaan dan barang rampasan sebagai berikut:

     

    Benda Sitaan Negara (Basan) adalah benda yang disita oleh negara untuk keperluan proses peradilan.[4] Benda ini bisa disita oleh penyidik atau penuntut umum guna keperluan barang bukti dalam proses peradilan.[5]

     

    Dalam hal penerimaan Basan dinyatakan:[6]

    a.    cepat rusak;

    b.    berbahaya; dan/atau

    c.    menimbulkan biaya tinggi,

    Kepala Rupbasan dapat merekomendasikan kepada instansi yang bertanggung jawab secara yuridis untuk melelang atau memusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

     

    Barang Rampasan Negara (Baran) adalah benda sitaan berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dinyatakan dirampas untuk negara.[7]

     

    Apakah Perampasan Aset Boleh Dilakukan Tanpa Adanya Penyitaan Terlebih Dahulu?

    Untuk menjawabnya, kami mengacu pada Laporan Akhir Badan Pembinaan Hukum Nasional tentang Lembaga Penyitaan dan Pengelolaan Barang Hasil Kejahatan yang dibuat oleh Tim Pengkajian Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. (“Laporan Akhir BPHN”) sebagai berikut (hal. 35):

     

    “Sudah barang tentu untuk dapat membawa harta atau aset koruptor ke dalam sidang pengadilan, harus didahului dengan tindakan penyitaan oleh penyidik dalam tahap penyidikan. Aset koruptor yang disita penyidik itu oleh jaksa penuntut umum akan diajukan sebagai barang bukti ke hadapan hakim dalam tahap penuntutan.”

     

    Menjawab pertanyaan Anda, dari sini dapat kita simpulkan bahwa perampasan aset yang diputus oleh hakim di pengadilan harus didahului dengan penyitaan. Dengan kata lain, perampasan aset hanya boleh dilakukan dengan adanya penyitaan terlebih dahulu.

     

    Hal ini secara implisit juga telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lain (“Perma 1/2013”). Memang, tak ada ‘perampasan’ dapat ditemui dalam Perma 1/2013 ini. Perma memperhalusnya dengan frasa ‘penanganan harta kekayaan’.

     

    Di sini dinyatakan bahwa syarat permohonan penanganan harta kekayaan harus memuat:[8]

    a.    nama dan jenis harta kekayaan;

    b.    jumlah harta kekayaan;

    c.    tempat, hari, dan tanggal penyitaan;

    d.    uraian singkat yang memuat alasan diajukannya permohonan penanganan harta kekayaan.

     

    Permohonan secara tertulis dan ditandatangani oleh Penyidik yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

    2.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

    3.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;

    4.    Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 16 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara Pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara;

    5.    Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lain.

     

    Referensi:

    Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I., diakses pada 23 Mei 2017 pukul 12.33 WIB.

     



    [1] Pasal 10 KUHP

    [2] Pasal 1 angka 16 KUHAP

    [3] Pasal 65 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

    [4] Pasal 1 angka 3 Permenkumham 16/2014

    [5] Lihat Pasal 4 dan Pasal 5 Permenkumham 16/2014

    [6] Pasal 10 dan Pasal 21 Permenkumham 16/2014

    [7] Pasal 1 angka 4 Permenkumham 16/2014

    [8] Pasal 2 Perma 1/2013

    Tags

    korupsi
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    TIPS HUKUM

    Konversi Utang Jadi Setoran Saham, Ini Caranya

    24 Mar, 2023 Bacaan 10 Menit
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!