Jika dalam sebuah perjanjian kerja terdapat klalusul "Karyawan bersedia mengundurkan diri jika hamil", apakah perjanjian kerja ini menyalahi peraturan Ketenagakerjaan? Terima kasih atas jawabannya.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya. Walaupun pengusaha memberikan pembenaran putusnya hubungan kerja karena pengunduran diri berdasarkan perjanjian kerja yang telah disepakati oleh pengusaha dan pekerja, akan tetapi ada yang dinamakan misbruik van omstandigheden (penyalahgunaan keadaan). Penyalahgunaan keadaan dapat terjadi, bila seseorang menggerakkan hati orang lain melakukan suatu perbuatan hukum dengan menyalahgunakan keadaan yang sedang dihadap orang tersebut.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Ulasan:
Pemutusan hubungan kerja bisa terjadi karena pengusaha yang memutuskan hubungan kerja atau pekerja yang mengundurkan diri. Jadi, pengunduran diri merupakan salah satu bentuk pemutusan hubungan kerja.
Tentang pemutusan hubungan kerja terkait pekerja hamil, dalam Pasal 153Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan(“UU Ketenagakerjaan”), yang diatur hanyalah pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha dengan alasan pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.
Secara eksplisit, Pasal 153 UU Ketenagakerjaan tersebut tidak dapat diterapkan dalam kasus ini. Karena ketentuan Pasal 153 UU Ketenagakerjaan itu adalah sebagai rambu larangan kepada pengusaha.
Pengunduran diri?
Sementara pengaturan mengenai pengunduran diri terdapat pada Pasal 162 UU Ketenagakerjaan. Pengunduran diri itu harus dilakukan atas kemauan pekerja sendiri, tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha.[1]
Walaupun pengusaha memberikan pembenaran putusnya hubungan kerja karena pengunduran diri berdasarkan perjanjian kerja yang telah disepakati oleh pengusaha dan pekerja, akan tetapi ada yang dinamakan misbruik van omstandigheden (penyalahgunaan keadaan). Sebagaimana pernah dijelaskan oleh Flora Dianti, S.H., M.H. dalam artikel Dapatkah Rentenir Dipidana?, penyalahgunaan keadaan dapat terjadi, bila seseorang menggerakkan hati orang lain melakukan suatu perbuatan hukum dengan menyalahgunakan keadaan yang sedang dihadap orang tersebut (Prof. DR. Gr. Van der Burght, Buku Tentang Perikatan, 1999: 68).
Pada praktiknya, penyalahgunaan keadaan tidak hanya berhubungan dengan isi perjanjian, tetapi juga dengan apa yang telah terjadi pada saat lahirnya perjanjian. Misalnya ketimpangan posisi ekonomi para pihak sehingga pihak yang lemah cenderung tak bisa berbuat banyak selain menuruti pihak yang kuat. Demikian misalnya yang dapat disimpulkan dari artikel Hakim Gunakan Dalil Misbruik Van Omstandigheden.
Dalam hal ini bisa saja dikatakan bahwa pekerja bersedia menandatangani perjanjian kerja tersebut karena pekerja tersebut membutuhkan pekerjaan sehingga dalam hal ini ada kedudukan yang timpang. Tetapi tentu saja hal tersebut harus dibuktikan.
Jika terbukti ada penyalahgunaan keadaan, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan karena adanya cacat kehendak dalam memberikan kesepakatan.