Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Affirmative Action (Diskriminasi Positif) dalam Penegakan HAM

Share
copy-paste Share Icon
Hak Asasi Manusia

Affirmative Action (Diskriminasi Positif) dalam Penegakan HAM

<i>Affirmative Action</i> (Diskriminasi Positif) dalam Penegakan HAM
Boris Tampubolon, S.H.Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Bacaan 10 Menit
<i>Affirmative Action</i> (Diskriminasi Positif) dalam Penegakan HAM

PERTANYAAN

Apakah hak asasi laki-laki itu ada? Karena laki-laki juga manusia. Mengapa hanya wanita yang dikhususkan? Apakah perbedaan hak asasi laki-laki dan perempuan? Apakah ada?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

     
    Secara prinsip tidak ada perbedaan hak asasi laki-laki dan perempuan, sebab tujuan diundangkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia agar setiap orang tanpa terkecuali berhak atas hak asasinya sebagai manusia. Kalaupun ada perbedaan (secara teknis) perlakuan bagi perempuan dibanding laki-laki, itu semata agar terciptanya kesetaraan, persamaan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan. Perlakuan yang berbeda tersebut disebut sebagai affirmative action (diskriminasi positif) yaitu tindakan yang mengizinkan negara untuk memperlakukan secara lebih kepada kelompok tertentu yang tidak terwakili.
     
    Tindakan afirmatif ini tujuannya untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan. Hal tersebut secara hukumpun telah diatur secara tegas di dalam Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi:
     
    Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
     
    Selain itu dibenarkan untuk dilakukan sebagaimana terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Lampiran UU 7/1984 yang berbunyi:
     
    1. Pembuatan peraturan-peraturan khusus sementara oleh Negara-Negara Pihak yang bertujuan mempercepat kesetaraan ‘de facto’ antara laki-laki dan perempuan tidak dianggap diskriminasi sebagaimana didefinisikan dalam Konvensi ini, tetapi dalam cara apapun tidak dapat dianggap sebagai konsekuensi dipertahankannya standar-standar yang tidak sama atau terpisah; tindakan-tindakan ini harus dihentikan apabila tujuan kesetaraan kesempatan dan perlakuan telah tercapai.
    2. Pengambilan tindakan-tindakan khusus oleh Negara-Negara Pihak, yang ditujukan untuk melindungi kehamilan, tidak dianggap diskriminatif.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     

    ULASAN LENGKAP

    Intisari:
     
     
    Secara prinsip tidak ada perbedaan hak asasi laki-laki dan perempuan, sebab tujuan diundangkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia agar setiap orang tanpa terkecuali berhak atas hak asasinya sebagai manusia. Kalaupun ada perbedaan (secara teknis) perlakuan bagi perempuan dibanding laki-laki, itu semata agar terciptanya kesetaraan, persamaan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan. Perlakuan yang berbeda tersebut disebut sebagai affirmative action (diskriminasi positif) yaitu tindakan yang mengizinkan negara untuk memperlakukan secara lebih kepada kelompok tertentu yang tidak terwakili.
     
    Tindakan afirmatif ini tujuannya untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan. Hal tersebut secara hukumpun telah diatur secara tegas di dalam Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi:
     
    Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
     
    Selain itu dibenarkan untuk dilakukan sebagaimana terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Lampiran UU 7/1984 yang berbunyi:
     
    1. Pembuatan peraturan-peraturan khusus sementara oleh Negara-Negara Pihak yang bertujuan mempercepat kesetaraan ‘de facto’ antara laki-laki dan perempuan tidak dianggap diskriminasi sebagaimana didefinisikan dalam Konvensi ini, tetapi dalam cara apapun tidak dapat dianggap sebagai konsekuensi dipertahankannya standar-standar yang tidak sama atau terpisah; tindakan-tindakan ini harus dihentikan apabila tujuan kesetaraan kesempatan dan perlakuan telah tercapai.
    2. Pengambilan tindakan-tindakan khusus oleh Negara-Negara Pihak, yang ditujukan untuk melindungi kehamilan, tidak dianggap diskriminatif.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     
     
     
    Ulasan:
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Hakikat Hak Asasi Manusia
    Di dalam literatur hukum maupun hak asasi manusia, saya tidak pernah menemukan isitilah hak asasi laki-laki. Yang ada hanya istilah hak asasi manusia. Mengacu pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”), dinyatakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah “seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
     
    Dalam konsideran poin b UU HAM dinyatakan bahwa Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.
     
    Berdasarkan uraian di atas, maka jelas hak asasi manusia itu merupakan hak dasar dan merupakan anugerah Tuhan karena kita manusia. Sehingga sebagai laki-laki, hak asasi Anda juga sudah terakomodasi juga di dalam hak asasi manusia.
     
    Soal pertanyaan Anda mengapa hanya wanita yang dikhususkan, Anda tidak memberikan contoh atau pejelasan apa yang Anda maksud dengan mengkhususkan wanita. Namun saya asumsikan bentuk mengkhususkan wanita itu dengan diratifikasi atau diundangkannya beberapa aturan/undang-undang yang khusus mengatur soal perempuan. Misalnya, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (“UU 7/1984”), Undang-Undang Nomor 68 tahun 1958 tentang Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita, dan sebagainya.
     
    Memang telah ada beberapa aturan yang dibuat atau diratifikasi pemerintah Indonesia yang khusus mengatur tentang perempuan. Namun perlu dipahami aturan-aturan tersebut diratifikasi/diundangkan dilatarbelakangi oleh fakta perlakuan yang sangat diskriminatif terhadap kaum perempuan pada masa lalu, di mana kaum perempuan tidak diperkenankan untuk mempunyai kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki. Selain itu, pada masa lalu perempuan dianggap sebagai makhluk yang sangat rendah sehingga kaum laki-laki dapat bertindak sewenang-wenang terhadap mereka. Di antaranya bahwa perempuan yang sudah menikah dianggap tidak dapat melakukan perbuatan hukum sendiri, semua yang akan dilakukan seorang perempuan harus berdasarkan izin suami (jika sudah menikah) atau orang tuanya (bila belum menikah).[1] Perlakuan diskriminatif terhadap perempuan tidak hanya terjadi di Indonesia, terutama tanah Jawa saja, melainkan terjadi pula di berbagai negara di dunia, sehingga lahirlah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada tahun 1979 yang kemudian diratifikasi oleh Indonesia melalui UU 7/1984.
     
    Selain dalam UU HAM, pengaturan terhadap perlindungan hak perempuan yang lebih rinci tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga[2], dan yang baru-baru ini terbit adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, dan lain sebagainya.
     
    Dengan diundangkannya UU HAM, maka hak-hak perempuan semakin dipertegas, yaitu berhak mendapat hak dan/atau kesempatan yang sama seperti laki-laki. Asas yang sangat mendasari hak asasi bagi perempuan di antaranya hak perspektif gender dan anti diskriminasi.[3] Dengan kata lain, kaum perempuan punya kesempatan yang sama seperti kaum laki-laki untuk mengembangkan dirinya, seperti dalam dunia pendidikan, pekerjaan, hak politik, kedudukan dalam hukum, kewarganegaraan, hak dan kewajiban dalam perkawinan.
     
    Soal apakah perbedaan hak asasi laki-laki dan perempuan, secara prinsip tidak ada perbedaan, sebab tujuan diundangkannya UU HAM agar setiap orang tanpa terkecuali berhak atas hak asasinya sebagai manusia. Kalaupun ada perbedaan (secara teknis) perlakuan bagi perempuan dibanding laki-laki, itu semata agar terciptanya kesetaraan, persamaan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan. Perlakuan yang berbeda tersebut disebut sebagai affirmative action (diskriminasi positif) yaitu tindakan yang mengizinkan negara untuk memperlakukan secara lebih kepada kelompok tertentu yang tidak terwakili.[4]
     
    Misalnya, jika seorang laki-laki dan perempuan dengan kualifikasi dan pengalaman yang sama melamar untuk perkerjaan yang sama, tindakan afirmatif dapat dilakukan dengan mengizinkan perempuan untuk diterima hanya dengan alasan karena lebih banyak laki-laki yang melamar di lowongan pekerjaan tersebut daripada perempuan. Juga misalnya harus ada jumlah minimum keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat.
     
    Tindakan afirmatif ini secara teknis memang menimbulkan diskriminasi, namun hal tersebut tidak boleh dianggap sebagai suatu bentuk diskriminasi karena tujuannya untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan. Hal tersebut secara hukumpun telah diatur secara tegas di dalam Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi:
     
    Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
     
    Selain itu, tindakan afirmatif ini juga terdapat dalam Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 49 ayat (2) dan (3) UU HAM yang berbunyi:
     
    Pasal 41 ayat (2) UU HAM:
    Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.
     
    Pasal 49 ayat (2) dan (3) UU HAM:
    1. Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.
    2. Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.
     
    Juga diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Lampiran UU 7/1984 yang berbunyi:
     
    1. Pembuatan peraturan-peraturan khusus sementara oleh Negara-Negara Pihak yang bertujuan mempercepat kesetaraan ‘de facto’ antara laki-laki dan perempuan tidak dianggap diskriminasi sebagaimana didefinisikan dalam Konvensi ini, tetapi dalam cara apapun tidak dapat dianggap sebagai konsekuensi dipertahankannya standar-standar yang tidak sama atau terpisah; tindakan-tindakan ini harus dihentikan apabila tujuan kesetaraan kesempatan dan perlakuan telah tercapai.
    2. Pengambilan tindakan-tindakan khusus oleh Negara-Negara Pihak, yang ditujukan untuk melindungi kehamilan, tidak dianggap diskriminatif.
     
    Berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan tidak ada hak asasi laki-laki, yang ada menurut peraturan perundang-undangan adalah Hak Asasi Manusia yang di dalamnya mengatur hak-hak asasi setiap manusia. Adapun perbedaan perlakuan khusus terhadap perempuan dimungkinkan untuk dilakukan oleh negera selama dalam rangka upaya menciptakan kesetaraan dan keadilan.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar hukum:
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
     
    Referensi:
    Smith, Rhona K.M. Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, (Yogyakarta: 2008)
     
     

    [1] Rhona K.M. Smith, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, (Yogyakarta: 2008), hal. 270.
    [2] Ibid
    [3] Pasal 1 angka 3 UU HAM: “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.
    [4] Rhona K.M Smith, hal. 39.

    Tags

    perempuan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Syarat dan Prosedur Hibah Saham

    11 Okt 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!