Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Apakah Saksi yang Ateis Dapat Memberikan Keterangan Dalam Persidangan?

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Apakah Saksi yang Ateis Dapat Memberikan Keterangan Dalam Persidangan?

Apakah Saksi yang Ateis Dapat Memberikan Keterangan Dalam Persidangan?
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Apakah Saksi yang Ateis Dapat Memberikan Keterangan Dalam Persidangan?

PERTANYAAN

Apakah boleh saksi yang tidak mempunyai agama atau kepercayaan diminta keterangannya dalam persidangan?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Intisari:

    KLINIK TERKAIT

    Definisi Saksi Mahkota

    Definisi Saksi Mahkota

     

     

    Tidak ada ketentuan yang melarang seseorang yang tidak memiliki agama/kepercayaan untuk bersaksi di persidangan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa saksi harus bersumpah atau berjanji sebelum memberikan keterangannya. Oleh karena itu, menurut kami, tidak menjadi masalah apakah saksi mempunyai agama/kepercayaan atau tidak, selama saksi tersebut mau berjanji untuk mengatakan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.

     

    Penjelasan lebih lanjut dan contoh kasus dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

     

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Ulasan:

     

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Guna menyederhanakan jawaban kami, kami asumsikan saksi yang dimaksud dalam pertanyaan Anda adalah saksi dalam proses peradilan pidana pada tahap persidangan. Oleh karena itu, kami akan menjawabnya dengan pendekatan hukum pidana dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP).

     

    Definisi Saksi

    Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.[1]

     

    Namun, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi (“MK”) telah memberikan perluasan makna saksi, termasuk “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”. Yusril Ihza Mahendra, pemohon judicial review KUHAP, dalam artikel MK ‘Rombak’ Definisi Saksi dalam KUHAP, mengatakan bahwa putusan MK ini menyatakan definisi saksi tidak hanya orang yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri, tetapi juga setiap orang yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana wajib didengar sebagai saksi demi keadilan dan keseimbangan penyidik yang berhadapan dengan tersangka/terdakwa.

     

    Sebagai informasi, menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Demikian pula halnya dengan ahli.[2]

     

    Larangan untuk Menjadi Saksi

    Apakah saksi yang tidak mempunyai agama atau kepercayaan boleh diminta keterangannya dalam persidangan? Untuk itu harus dilihat terlebih dahulu siapa saja yang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 168 KUHAP sebagai berikut:

     

    Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

    a.    Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

    b.    Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

    c.    Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

     

    Merujuk pada ketentuan di atas, tidak mempunyai agama atau kepercayaan tidak menjadi halangan bagi seseorang untuk menjadi saksi. Akan tetapi, hal ini akan berkaitan dengan salah satu kewajiban saksi, yaitu sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.[3]

     

    Lalu bagaimana saksi yang tidak mempunyai agama atau kepercayaan melakukan kewajibannya mengucapkan sumpah atau janji?

     

    Sumpah atau Janji

    Seorang saksi, sebelum memberikan keterangan, wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut tata cara agamanya masing-masing.[4] Namun, dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan, saksi tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali hakim menganggap perlu.[5] Ini berarti pengambilan sumpah dilakukan berdasarkan agama yang dianut oleh saksi dengan dibantu oleh rohaniawan sebagai juru sumpah.

     

    Bagaimana jika saksi menolak bersumpah atau berjanji? Bagi saksi yang menolak bersumpah atau berjanji tanpa alasan sah, pemeriksaan terhadap dirinya tetap dilakukan tetapi ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dijadikan sandera di Rumah Tahanan Negara paling lama 14 hari.[6] Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lewat dan saksi tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.[7]

     

    Mengenai tata cara bersumpah atau berjanji saksi yang mempunyai agama, sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Lafal Sumpah di Pengadilan Bagi Penganut Kepercayaan, buku terbitan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan mengatur sebagai berikut:

     

    1.    Saksi yang beragama Islam:

     

    “WALLAHI” atau (DEMI ALLAH)”

     

    “SAYA BERSUMPAH BAHWA SAYA AKAN MENERANGKAN DENGAN SEBENARNYA DAN TIADA LAIN DARIPADA YANG SEBENARNYA”

     

    2.    Saksi yang beragama Kristen Protestan dan Katolik:

     

    “SAYA BERSUMPAH/BERJANJI BAHWA SAYA AKAN MENERANGKAN DENGAN SEBENARNYA DAN TIADA LAIN DARIPADA YANG SEBENARNYA”

     

    “SEMOGA TUHAN MENOLONG SAYA”

     

    3.    Saksi yang beragama Hindu:

     

    “OM ATAH PARAMA WISESA”

     

    “SAYA BERSUMPAH BAHWA SAYA AKAN MENERANGKAN DENGAN SEBENARNYA DAN TIADA LAIN DARI YANG SEBENARNYA”

     

    4.    Saksi yang beragama Budha:

     

    “DAMI SANG HYANG ADI BUDHA”

     

    “SAYA BERSUMPAH BAHWA SAYA AKAN MENERANGKAN DENGAN SEBENARNYA DAN TIADA LAIN DARI YANG SEBENARNYA”

     

    5.    Dalam hal ada saksi yang karena kepercayaannya tidak bersedia mengucapkan sumpah, maka yang bersangkutan cukup mengucapkan janji sebagai berikut:

     

    “SAYA BERJANJI BAHWA SAYA AKAN MENERANGKAN DENGAN SEBENARNYA DAN TIADA LAIN DARI YANG SEBENARNYA”

     

    Dari uraian di atas terlihat bahwa baik buku terbitan Mahkamah Agung maupun KUHAP tidak mengatur lafal sumpah/janji bagi saksi yang tidak mempunyai agama.

     

    Walaupun tidak ada lafal sumpah/janji bagi yang tidak memiliki agama dan setiap lafal sumpah/janji masing-masing agama memiliki perbedaan, tetapi dapat kita lihat bahwa pada intinya lafal sumpah/janji semua agama hampir sama. Yaitu mereka harus menerangkan atau menjelaskan dengan sebenar-benarnya. Oleh karena itu, menurut kami, tidak menjadi masalah apakah saksi mempunyai agama/kepercayaan atau tidak, selama saksi tersebut mau berjanji untuk mengatakan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

     

    Referensi:

    Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan, 2009.

     



    [1] Pasal 1 angka 26 KUHAP

    [2] Penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP

    [3] Pasal 160 ayat (3) KUHAP

    [4] Pasal 160 ayat (3) KUHAP

    [5] Pasal 208 KUHAP

    [6] Pasal 161 ayat (1) KUHAP

    [7] Pasal 161 ayat (2) KUHAP

    Tags

    acara peradilan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya

    21 Des 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!