Apakah mensyaratkan hanya orang-orang yang memiliki keyakinan tertentu saja yang dapat diangkat menjadi pegawai kerja tetap dalam suatu perusahaan diperbolehkan oleh undang-undang? Atau perusahaan memang diberikan kewenangan/kebebasan sendiri dalam menentukan peraturan kepegawaiannya walaupun hal tersebut jelas melanggar hak konstitusional warga negara yang telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 28I ayat 2 tentang bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun? Terimakasih sebelumnya.
UU Ketenagakerjaan jelas mengatur bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik. Oleh karena perusahaan tidak boleh membuat ketentuan bahwa yang dapat diangkat sebagai pegawai tetap hanyalah yang beragama tertentu.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Larangan Perlakuan Diskriminatif Bagi Pekerja
Pekerja dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”) biasa disebut pekerja tetap. Perjanjian kerja dibuat atas dasar:[1]
a.kesepakatan kedua belah pihak;
b.kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c.adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d.pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ini artinya, selama pekerja memenuhi syarat-syarat di atas, maka ia dapat terikat dalam perjanjian kerja apapun sistem kerjanya, baik itu PKWTT maupun Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Terkait perlakuan diskriminasi, Anda benar bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminasi. Hal ini termaktub dalam Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”)yang berbunyi:
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Di samping itu, larangan perlakuan diskriminatif bagi pekerja juga diatur khusus dalam Pasal 6 UU Ketenagakerjaan:
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
Penjelasan: Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik.
Melihat pada uraian di atas, jelas bahwa pengusaha dilarang memberlakukan ketentuan bahwa hanya pekerja dengan agama tertentu saja yang berhak dipekerjakan dengan sistem PKWTT.
Di samping itu, apa yang dimuat dalam perjanjian kerja juga tidak mensyaratkan adanya ketentuan terkait agama. Hal ini menunjukkan jelas bahwa agama bukanlah menjadi persyaratan terikat dalam suatu hubungan kerja. Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat:[2]
a.nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b.nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c.jabatan atau jenis pekerjaan;
d.tempat pekerjaan;
e.besarnya upah dan cara pembayarannya;
f.syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g.mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
Bagaimana jika perusahaan membuat ketentuan sendiri mengenai pekerja yang beragama tertentu saja yang bisa menjadi pekerja tetap? Hal tersebut tidak diperbolehkan, karena baik perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[3]
Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah kualitas atau kuantitasnya dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan apabila ternyata bertentangan, maka yang berlaku adalah ketentuan peraturan perundang-undangan.[4]
Sanksi Jika Pengusaha Melakukan Tindakan Diskriminasi
Jika perusahaan melakukan tindakan diskriminasi terhadap pekerjanya, maka menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif kepada pengusaha.[5] Adapun sanksi adminisitratif tersebut berupa:[6]
a.teguran;
b.peringatan tertulis;
c.pembatasan kegiatan usaha;
d.pembekuan kegiatan usaha;
e.pembatalan persetujuan;
f.pembatalan pendaftaran;
g.penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi;