KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Arti Gugatan Cerai Ghaib

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Arti Gugatan Cerai Ghaib

Arti Gugatan Cerai Ghaib
Renata Christha Auli, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Arti Gugatan Cerai Ghaib

PERTANYAAN

Apa yang dimaksud dengan suami ghaib (terkait cerai/talak)? Bagaimana prosedur dan syarat cerai ghoib? Apakah cerai ghaib dapat akta cerai?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pada intinya, prosedur untuk melakukan cerai ghaib sama halnya dengan prosedur cerai pada umumnya. Salah satu prosedurnya, penggugat mengajukan permohonan gugatan cerai Pengadilan Agama dan wajib membayarkan biaya panjar perkara sesuai yang ada di Pengadilan Agama. Kemudian, gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman istri.

    Lantas, apa yang dimaksud dengan suami ghaib dan cerai ghaib? Apakah cerai ghaib dapat akta cerai?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    KLINIK TERKAIT

    Bisakah Melaporkan Istri karena Isi Gugatan Cerai Tak Sesuai Fakta?

    Bisakah Melaporkan Istri karena Isi Gugatan Cerai Tak Sesuai Fakta?

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. pada Jumat, 23 September 2016.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Guna mempermudah pemahaman, kami asumsikan bahwa istilah “ghaib” atau “ghoib” yang Anda maksud adalah “gaib” yang menurut KBBI artinya tidak kelihatan, tersembunyi, tidak nyata, atau hilang.

    Hukum Suami Ghaib dalam Fikih

    Suami ghaib dalam istilah fikih disebut dengan al-Mafqud,[1] sehingga dalam hukum Islam, cerai ghaib dikenal dengan cerai mafqud. Kata mafqud adalah orang yang pergi dari tempat tingggalnya dan tidak dapat diketahui apakah dia masih hidup atau telah meninggal dunia.[2]

    Menurut Wahbah Zuhaily, yang dimaksud ghaib dalam konteks ini adalah seorang wanita yang suaminya hilang dan tidak diketahui keadaan serta keberadaannya. Suami ghaib adalah orang yang hilang yang tidak ditemukan, apakah dia masih hidup sehingga tidak bisa dipastikan kedatangannya kembali atau apakah dia sudah mati sehingga kuburannya dapat diketahui.[3] Hal ini tentu saja akan menyulitkan kehidupan istri yang ditinggalkan, terutama bila suami tidak meninggalkan nafkah bagi kehidupannya dan anak-anaknya.[4]

    Kemudian, dikutip dari Dirjen Badilag (Mahkamah Agung RI), gugatan cerai ghoib atau cerai talak ghaib adalah gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Agama oleh seorang penggugat/pemohon untuk menggugat cerai tergugat/termohon, dimana sampai dengan diajukannya gugatan tersebut, alamat maupun keberadaan tergugat/termohon tidak jelas atau tidak diketahui.

    Jadi menjawab pertanyaan Anda, suami ghaib merupakan istilah yang muncul dalam perkara gugatan cerai ghaib dimana suami (yang digugat cerai istrinya) tidak diketahui keberadaannya.

    Tergugat yang Tidak Diketahui Keberadaannya

    Karena ini merupakan perkara gugatan cerai antara suami dan istri yang beragama Islam, maka kami merujuk pada Pasal 73 UU Peradilan Agama yang berbunyi: 

    1. Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
    2. Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
    3. Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

    Dari peraturan tersebut dapat disimpulkan bahwa gugatan perceraian yang diajukan oleh istri pada dasarnya dilakukan di tempat kediaman penggugat. Hal ini bertujuan untuk melindungi pihak istri.[5]

    Sejalan dengan apa yang diatur dalam UU Peradilan Agama, KHI juga mengatur bahwa gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.[6]   

    Kemudian, untuk menegaskan mengenai gugatan kepada suami ghaib (tidak diketahui keberadaannya), diatur juga dalam Pasal 20 ayat (2) PP 9/1975 sebagai berikut:

    Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.

    Jadi pada dasarnya, dimanapun keberadaan tergugat atau jika tergugat tidak diketahui keberadaannya, UU Peradilan Agama, KHI, dan PP 9/1975 telah mengatur bahwa gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman istri (penggugat).

    Baca juga: Ingin Rujuk, Begini Cara Cabut Gugatan Cerai di Pengadilan

    Pemeriksaaan Gugatan Cerai Ghaib dan Pemanggilan Para Pihak

    Setelah adanya pengajuan gugatan, proses selanjutnya adalah pemeriksaan gugatan perceraian. Setiap kali diadakan sidang Pengadilan Agama yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat, atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.[7] Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan, dan apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpai, panggilan disampaikan melalui lurah atau yang sederajat.[8]

    Dalam Pasal 138 ayat (1) KHI dijelaskan bahwa jika tempat kediaman suami (tergugat) tidak jelas atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan Agama dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau media massa lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.

    Adapun menurut Pasal 138 ayat (2) KHI, pengumuman melalui surat kabar atau media massa dilakukan sebanyak 2 kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. Kemudian, tenggang waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 bulan.[9]

    Selanjutnya, berdasarkan Pasal 138 ayat (4) KHI, dalam hal sudah dilakukan panggilan dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak dan tidak beralasan. Peraturan dalam KHI ini serupa dengan yang diatur dalam Pasal 27 PP 9/1975.

    Baca juga: Panduan Mengajukan Perceraian Tanpa Pengacara

    Jadi, apabila pengadilan telah memanggil suami ghaib (tergugat) dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan Agama, dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau media massa lain namun tergugat tidak juga hadir, maka gugatan cerai yang diajukan oleh istri diterima tanpa hadirnya tergugat. Hal tersebut dikenal dengan putusan verstek.  

    Disarikan dari artikel Upaya Hukum Terhadap Putusan Verstek yang Telah Inkracht, putusan verstek adalah penjatuhan putusan atas perkara yang dipersengketakan yang memberi wewenang kepada hakim menjatuhkan putusan tanpa hadirnya tergugat. Lalu, dikutip dari artikel Putusan Verstek Jika Salah Satu Tergugat Tidak Hadir, jika tergugat tidak mengajukan upaya hukum verzet (perlawanan) terhadap putusan verstek itu, maka putusan tersebut dianggap sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap. 

    Baca juga: Bisakah Cerai Jika Suami Tidak Menghadiri Sidang Perceraian?

    Prosedur dan Syarat Cerai Ghaib

    Dikutip dari laman Pengadilan Agama Kandangan Kelas II, dalam hal suami ghaib, berikut adalah persyaratan yang wajib dipenuhi oleh istri (penggugat) yang mengajukan gugatan cerai:

    1. menyerahkan surat permohonan/gugatan (minimal 8 rangkap);
    2. menyerahkan asli kutipan/duplikat akta nikah;
    3. fotocopy asli kutipan/duplikat akta nikah (1 lembar);
    4. fotocopy KTP pemohon/penggugat (1 lembar);
    5. menyerahkan surat keterangan dari kepala desa/kepala kelurahan tempat tinggal penggugat/pemohon dan tergugat/termohon, yang menerangkan tergugat/termohon telah pergi tidak jelas alamatnya (1 lembar);
    6. surat ijin/keterangan perceraian dari pejabat yang berwenang bagi PNS, TNI/Polri;
    7. persyaratan no. 3, 4 dan 5 di nazelegen atau dimeteraikan dan cap kantor pos; dan
    8. membayar panjar biaya perkara.

    Kemudian, perlu diketahui bahwa persyaratan tersebut merupakan persyaratan awal. Untuk selanjutnya, Anda dapat mengikuti petunjuk dan perintah dari majelis hakim di dalam persidangan.

    Baca juga: Cara Mengurus Surat Cerai dan Langkah Mengajukan Gugatannya

    Lantas, jika melaksanakan perceraian ghaib, apakah cerai ghaib dapat akta cerai? Disarikan dari Mengenal Cerai Ghaib yang Dapat Dilakukan Secara Hukum, pada dasarnya, prosedur untuk melakukan cerai ghaib sama halnya dengan prosedur cerai pada umumnya seperti:

    1. mengajukan permohonan gugatan cerai ghaib atau talak ghaib oleh pemohon ke Pengadilan Agama;
    2. pemohon membayarkan biaya panjar perkara sesuai yang ada di Pengadilan Agama;
    3. pemohon dan termohon akan dipanggil oleh Pengadilan Agama untuk menghadiri sidang;
    4. pengadilan akan memberikan putusan sidang cerai ghaib;
    5. untuk cerai talak ghaib, pemohon akan mengucapkan ikrar talak; dan
    6. jika gugatan cerai ghaib diterima, maka panitera akan memberikan akta cerai pada penggugat.

    Baca juga: Cara Mendapatkan Akta Cerai Jika Tidak Hadir Saat Sidang

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
    2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
    3. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

    Referensi:

    1. Dian Khairul Umam. Fiqih Mawaris. Bandung: Pustaka Setia, 1999;
    2. Jamaluddin T. Efektivias Pemanggilan Ghaib terhadap Perkara Perceraian di Pengadilan Agama. Jurnal Al-Adalah Vol. 3, No. 1, 2018;
    3. Rd. Singgih Hasanul Baluqia dan Puti Priyana. Pertimbangan Hakim terhadap Perkara Cerai Gugat Suami Ghaib dan Akibat Hukumnya di Pengadilan Agama Karawang. Jurnal Yusitita, Vol. 7, No. 2, 2021;
    4. Wahbah Zuhaily. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 7. Libanon: Dar al-Fikr, 2008;
    5. Dirjen Badilag (Mahkamah Agung RI), diakses pada Senin 24 Juli 2023, pukul 12.35 WIB;
    6. KBBI, diakses pada Senin 24 Juli 2023, pukul 15.15 WIB;
    7. Pengadilan Agama Kandangan Kelas II, diakses pada Senin 24 Juli 2023, pukul 10.23 WIB.

    [1] Jamaluddin T. Efektivitas Pemanggilan Ghaib terhadap Perkara Perceraian di Pengadilan Agama. Jurnal Al-Adalah Vol. 3, No. 1, 2018, hal. 6.

    [2] Dian Khairul Umam. Fiqih Mawaris. Bandung: Pustaka Setia, 1999, hal. 214.

    [3] Wahbah Zuhaily. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 7. Libanon: Dar al-Fikr, 2008, hal. 609.

    [4] Rd. Singgih Hasanul Baluqia dan Puti Priyana. Pertimbangan Hakim terhadap Perkara Cerai Gugat Suami Ghaib dan Akibat Hukumnya di Pengadilan Agama Karawang. Jurnal Yusitita, Vol. 7, No. 2, 2021, hal. 230.

    [5] Penjelasan Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

    [6] Pasal 132 ayat (1) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).

    [7] Pasal 26 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”).

    [8] Pasal 26 ayat (3) PP 9/1975.

    [9] Pasal 138 ayat (3) KHI.

    Tags

    gugat cerai
    gugatan cerai

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Persyaratan Pemberhentian Direksi dan Komisaris PT PMA

    17 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!