KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Apakah Surat Bermaterai Dapat Menghilangkan Pertanggungjawaban Pidana?

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Apakah Surat Bermaterai Dapat Menghilangkan Pertanggungjawaban Pidana?

Apakah Surat Bermaterai Dapat Menghilangkan Pertanggungjawaban Pidana?
Sovia Hasanah, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Apakah Surat Bermaterai Dapat Menghilangkan Pertanggungjawaban Pidana?

PERTANYAAN

Apakah surat bermaterai yang mengatakan “pihak keluarga tidak akan menuntut apabila ada kerugian fisik atau jiwa” bisa menghilangkan tuntutan pidana?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Intisari:

    KLINIK TERKAIT

    Apakah Orang Gila Bisa Dipidana?

    Apakah Orang Gila Bisa Dipidana?

     

     

    Apakah surat pernyataan bermaterai dapat menghilangkan tuntutan pidana? Seseorang bisa dimintai pertanggungjawaban pidananya kecuali ada alasan-alasan penghapus pidana. Surat pernyataan bermaterai tidak termasuk sebagai salah satu alasan penghapus pidana.

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

     

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Ulasan:

     

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Yang menjadi pertanyaan Anda adalah apakah surat pernyataan bermaterai dapat menghilangkan tuntutan pidana? Untuk itu kita hurus merujuk pada apa saja dasar yang dapat meniadakan pidana.

     

    Pertanggungjawaban Pidana

    Menurut Chairul Huda dalam bukunya Dari Tiada Pidana, Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan (hal. 6) menjelaskan bahwa dalam suatu tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntut jika tindak pidana dilakukan dengan kesalahan.

     

    Chairul Huda (hal. 62) menjelaskan bahwa pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan penghapus pidana. Dalam lapangan acara pidana, hal ini berarti seseorang terdakwa dipandang bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai defence ketika melakukan tindak pidana.

     

    Lebih lanjut dijelaskan bahwa penuntut umum berhak untuk mendakwa dan menuntut seseorang karena melakukan tindak pidana. Untuk itu, penuntut umum berkewajiban membuktikan apa yang didakwa dan dituntut itu, yaitu membuktikan hal-hal yang termuat dalam rumusan tindak pidana. Sementara itu, terdakwa dapat mengajukan pembelaan atas dasar adanya alasan-alasan penghapus pidana. Untuk menghindar dari pengenaan pidana, terdakwa harus dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai alasan penghapus pidana ketika melakukan tindak pidana.

     

    Alasan-alasan Penghapus Pidana

    Dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):

    a.    Alasan pembenar berarti alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya (objektif). Misalnya, tindakan 'pencabutan nyawa' yang dilakukan eksekutor penembak mati terhadap terpidana mati (Pasal 50 KUHP);

    b.    Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu (Pasal 44 KUHP).

     

    Menurut Lamintang dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (hal. 388), sebagaimana kami sarikan, dasar-dasar yang meniadakan hukuman atau strafuitsluitingsgronden antara lain dapat kita jumpai di dalam Buku ke-1 KUHP, yaitu:

    a.    Pasal 44 KUHP

    Mengatur tentang tidak dapat dihukumnya orang yang ontoerekeningsvatbaar atau orang yang “tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya”.

    b.    Pasal 48 KUHP

    Menentukan tentang tidak dapat dihukumnya orang yang berada dalam suatu overmacht (keadaan memaksa).

    c.    Pasal 49 ayat (1) KUHP

    Mengatur tentang tidak dapat dihukumnya orang yang melakukan suatu noodweer (pembelaan diri karena terpaksa).

    d.    Pasal 49 ayat (2) KUHP

    Mengatur tentang tidak dapat dihukumnya orang yang telah melakukan sesuatu tindakan yang pada hakikatnya merupakan suatu noodweerexces (pembelaan darurat yang melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, yang dilakukan karena perasaan tergoncang).

    e.    Pasal 50 KUHP

    Mengatur tentang tidak dapat dihukum seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan untuk melaksanakan perintah perundang-undangan.

    f.     Pasal 51 ayat (1) KUHP

    Mengatur tentang tidak dapat dihukum orang yang telah melakukan sesuatu tindakan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang telah diberikan oleh kekuasaan yang berwenang untuk memberikan perintah semacam itu.

    g.    Pasal 51 ayat (2) KUHP

    Mengatur tentang tidak dapat dihukum orang yang telah melakukan suatu tindakan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang telah diberikan oleh kekuasaan yang tidak berwenang untuk memberikan perintah semacam itu, asalkan perintah tersebut oleh orang yang mendapat perintah dengan itikad baik telah dianggap sebagai suatu perintah yang diberikan oleh kekuasaan yang memang berwenang untuk memberikan perintah dan pelaksanaan dari perintah tersebut memang terletak di dalam lingkungan pekerjaannya.

    h.    Pasal 59 KUHP

    Mengatur tentang tidak dapat dihukum pengurus atau komisaris-komisaris karena pelanggaran apabila pelanggaran tersebut terjadi di luar pengetahuan mereka.

     

    Hal di atas merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pelaku tindak pidana dari pertanggungjawaban pidana.

     

    Selain dari keadaan tersebut maka pidana terhadap seseorang tidak dapat ditiadakan. Ini berarti surat pernyataan “pihak keluarga tidak akan menuntut apabila ada kerugian fisik atau jiwa” tidak bisa menghilangkan pertanggunjawaban pidana.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

     

    Referensi:

    1.    Chairul Huda. Dari Tiada Pidana, Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta: Kencana. 2006.

    2.    P.A.F. Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2013.

     

    Tags

    hukumonline
    hukum

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Upload Terjemahan Novel Agar Tak Langgar Hak Cipta

    20 Okt 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!