Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Dapatkah Mengajukan Upaya Hukum Terhadap Sengketa Pilkada ke MK?

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Dapatkah Mengajukan Upaya Hukum Terhadap Sengketa Pilkada ke MK?

Dapatkah Mengajukan Upaya Hukum Terhadap Sengketa Pilkada ke MK?
Sovia Hasanah, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Dapatkah Mengajukan Upaya Hukum Terhadap Sengketa Pilkada ke MK?

PERTANYAAN

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusan bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD. Dari penjelasan tersebut, saya mau tanyakan jika ada sengketa (dalam hal ini adalah pilkada), maka ketentuannya harus diajukan kepada MK, di situlah akan diketahui siapa yang menang dan siapa yang kalah. Namun dengan berjalannya waktu, jika seseorang yang kalah menemukan bukti-bukti baru, apakah bisa diajukan lagi kepada MK? Atau bisakah diajukan banding? Jika bisa, kemana harus diajukan? Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Intisari:

    KLINIK TERKAIT

    Beda Wewenang KY dan MA dalam Pengawasan Hakim

    Beda Wewenang KY dan MA dalam Pengawasan Hakim

     

     

    Dalam UU Pilkada diatur bahwa MK memliki kewenangan mengadili perkara perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum bersifat final dan mengikat.

     

    Putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat mengikat bermakna putusan MK tidak hanya berlaku bagi para pihak tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia.

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

     

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Ulasan:

     

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Perselisihan/Sengketa Pemilihan Kepala Daerah

    Mengenai perselisihan pemilihan kepala daerah, Pasal 157 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (“UU Pilkada”) mengatur sebagai berikut:

     

    (1)  Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.

    (2)  Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional.

    (3)  Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus

    (4)  dst

    (5)  ….

    (6)  ...’

    (7)  ...,

    (8)  ...’

    (9)  ...,

    (10)       ....

     

    Jadi berdasarkan UU Pilkada tersebut, memang benar bahwa Mahkamah Konstitusi (“MK”) yang memliki kewenangan memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hasil Pilkada.

     

    Putusan Mahkamah Konstitusi Secara Umum

    Menurut Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”), MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

     

    Pengaturan lebih lanjut mengenai putusan MK diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU 24/2003”) yang telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“Perpu 1/2013”) yang mana Perpu 1/2013 ini telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang.

     

    Pasal 10 ayat (1) UU 24/2003 berbunyi:

     

    MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

    a.    menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    b.   memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    c.    memutus pembubaran partai politik;

    d.    memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

     

    Menjawab pertanyaan Anda, putusan MK itu bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).[1]

     

    Jadi, akibat hukumnya secara umum, tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh terhadap putusan MK, termasuk sengketa perselisihan Pemilihan Umum Kepala Daerah (“Pilkada”) sekalipun.

     

    Penjelasan lebih lanjut tentang sifat putusan MK ini dapat Anda simak artikel Sifat dan Keberlakuan Putusan Mahkamah Konstitusi.

     

    Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Mengadili Sengketa Hasil Pilkada

    Terkait putusan MK dalam Menangani Sengketa Hasil Pemilihan Umum, Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU 8/2011”)dengan tegas menyebutkan:

     

    Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum bersifat final dan mengikat.

     

    Hal ini sejalan dengan yang telah disebutkan di atas bahwa putusan MK itu bersifat final,[2] yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.[3]

     

    Dalam artikel yang berjudul Arti Putusan yang Final dan Mengikat, sifat mengikat bermakna putusan MK tidak hanya berlaku bagi para pihak tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Adapun salah satu akibat hukum dari putusan MK yang final dan mengikat dalam makna positif adalah mengakhiri sebuah sengketa hukum.

     

    Dalam artikel Arti Putusan yang Final dan Mengikat yang mengutip dari Jurnal Mahkamah Konstitusi tentang Telaah Makna Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat dijelaskan bahwa secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frase “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dari rangkaian pemeriksaan”, sedangkan frase mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harafiah ini maka frase final dan frase mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya akhir dari suatu proses pemeriksaan, telah memiliki kekuatan mengeratkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi.

     

    Makna harafiah di atas bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan MK artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht). Putusan MK memiliki kekuatan mengikat secara hukum terhadap semua komponen bangsa termasuk obyek yang disengketa.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1.    Undang-Undang Dasar 1945;

    2.  Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

    3.    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 kemudian diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

     

     



    [1] Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU 8/2011

    [2] Pasal 10 ayat (1) UU 24/2003

    [3] Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU 8/2011

    Tags

    acara peradilan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Baca Tips Ini Sebelum Menggunakan Karya Cipta Milik Umum

    28 Feb 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!