KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Haruskah Terdakwa yang Divonis Pidana Penjara Langsung Ditahan?

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Haruskah Terdakwa yang Divonis Pidana Penjara Langsung Ditahan?

Haruskah Terdakwa yang Divonis Pidana Penjara Langsung Ditahan?
Sovia Hasanah, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Haruskah Terdakwa yang Divonis Pidana Penjara Langsung Ditahan?

PERTANYAAN

Saya ingin bertanya, jika seorang terdakwa telah dijatuhi vonis penjara oleh hakim pengadilan negeri, apakah dia harus segera ditahan? Lalu jika dia mengajukan banding, apakah boleh meminta penangguhan penahanan?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

     

    KLINIK TERKAIT

    Kapan Remisi dan Pembebasan Bersyarat Bisa Didapatkan Narapidana?

    Kapan Remisi dan Pembebasan Bersyarat Bisa Didapatkan Narapidana?

    Intisari:

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Tidak semua putusan pemidanaan dibarengi dengan perintah terdakwa ditahan. Sekalipun terdakwa berada dalam status tidak ditahan, kemudian putusan yang dijatuhkan berupa putusan pemidanaan, pengadilan dapat memerintahkan dalam putusan supaya terdakwa “tidak ditahan”. Namun, bisa juga putusan pemidanaan itu memerintahkan supaya terdakwa ditahan.

     

    Pasal 193 ayat (2) KUHAP:

     

    1. Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan, cukup untuk itu;
    2. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup untuk itu.

     

    Yang menentukan apakah terdakwa langsung ditahan atau tidak itu tergantung perintah pengadilan, yakni hakim melalui putusannya.

     

    Kemudian mengenai penanggguhan penahanan pada tingkat banding, hal tersebut bisa dilakukan. Penangguhan penahanan ini bergantung pada Ketua Pengadilan Tinggi atau Majelis Hakim yang menangani permohonan banding yang diajukan di Pengadilan Tinggi.

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

     

     

     

    Ulasan:

     

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami berpedoman pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).

     

    Bentuk Putusan Pengadilan

    Dalam penyelesaian perkara pidana di pengadilan terdapat tiga bentuk putusan:[1]

    1.    Putusan bebas;

    2.    Putusan lepas; dan

    3.    Putusan pemidanaan.

     

    Putusan bebas pengaturannya terdapat dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP sebagai berikut:

     

    Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

      

    Putusan lepas diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:

     

    Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

      

    Sedangkan putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP, yaitu:

     

    Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.

     

    Jadi, jika terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Dalam konteks pertanyaan Anda, terdakwa dijatuhi putusan pemidanaan berupa pidana penjara oleh hakim di Pengadilan Negeri.

     

    Perintah Penahanan

    Pertanyaan Anda adalah bagaimana status terdakwa setelah putusan hakim? Apakah harus segera ditahan?

     

    Dalam Pasal 193 ayat (2) KUHAP diatur mengenai hal tersebut, yang berbunyi:

     

    a.    Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan, cukup untuk itu;

    b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup untuk itu.

     

    Menurut Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 354-355), berdasarkan ketentuan Pasal 193 ayat (2) KUHAP ini, ada berbagai status yang dapat diperintahkan pengadilan terhadap seorang terdakwa yang dijatuhi dengan putusan pidana.

     

    a.    Jika terdakwa tidak ditahan

    Saat putusan pemidanaan dijatuhkan terdakwa berada dalam status tidak ditahan, berarti selama atau setelah berjalan beberapa lama persidangan, terdakwa berada dalam status tidak ditahan. Mungkin mulai dari penyidikan, penuntutan sampai pada pemeriksaan persidangan, terdakwa tidak pernah ditahan. Pokoknya pada saat dijatuhkan putusan pemidanaan, terdakwa tidak ditahan. Dalam hal seperti ini pengadilan dapat memilih alternatif status yang akan diperintahkan terhadap terdakwa:

     

    1.    Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam status tidak ditahan[2]

    Tidak semua putusan pemidanaan dibarengi dengan perintah terdakwa ditahan. Sekalipun terdakwa berada dalam status tidak ditahan, kemudian putusan yang dijatuhkan berupa putusan pemidanaan, pengadilan dapat memerintahkan dalam putusan supaya terdakwa “tidak ditahan”.

     

    Hal ini sesuai dengan Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP. Dari ketentuan ini, pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 KUHAP dan terdapat alasan, cukup untuk itu.

     

    Kata “dapat” di sini berarti bukan mesti memerintahkan supaya ditahan. Artinya, pengadilan “dapat” memerintahkan supaya terdakwa yang dijatuhi hukuman pidana “tidak ditahan” sekalipun terdakwa dijatuhi putusan pidana.

     

    Yahya menjelaskan bahwa mungkin pengadilan berpendapat untuk apa buru-buru memerintahkan terdakwa ditahan sekalipun kepadanya telah dijatuhi putusan pemidanaan. Bukankah masih besar putusan itu akan dibatalkan oleh peradilan tingkat banding atau kasasi?

     

    2.    Pengadilan dapat memerintahkan supaya terdakwa ditahan[3]

    Jika terdakwa tidak ditahan pada saat putusan dijatuhkan, pengadilan “dapat” memerintahkan supaya terdakwa ditahan. Berarti pada saat pengadilan menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap terdakwa, sekaligus memerintahkan supaya terdakwa ditahan.

     

    Misalnya, pengadilan menjatuhkan putusan pidana 4 tahun penjara kepada terdakwa yang tidak ditahan, pada saat putusan dijatuhkan, dibarengi juga dengan perintah supaya terdakwa ditahan. Namun, sebelum pengadilan memerintahkan penahanan, lebih dulu meneliti apakah perkara yang didakwakan memenuhi syarat sah perintah penahanan sesuai dengan ketentuan pada Pasal 21 KUHAP.

     

    b.    Jika terdakwa berada dalam status tahanan[4]

    Jika pada saat putusan dibacakan terdakwa berada dalam status tahanan, perintah status yang bagaimanakah yang dapat dikenakan pengadilan terhadap terdakwa pada saat putusan dijatuhkan?

     

    Menurut Pasal 193 ayat (2) huruf b KUHAP, pengadilan dapat memilih salah satu alternatif berikut:

     

    1.    Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan[5]

    Alternatif pertama yang dipilih pengadilan adalah memerintahkan atau menetapkan terdakwa yang ditahan supaya “tetap berada dalam tahanan”. Jadi, kalau pada saat pengadilan menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap terdakwa yang memang sedang ditahan, pada saat putusan dijatuhkan atau diucapkan, sekaligus dibarengi dengan perintah supaya terdakwa tetap berada dalam tahanan.

     

    2.    Memerintahkan pembebasan terdakwa dari tahanan[6]

    Alternatif kedua yang dipilih pengadilan yaitu mengeluarkan perintah pembebasan terdakwa dari tahanan. Ketentuan Pasal 193 ayat (2) huruf b KUHAP memberi kemungkinan kepada pengadilan untuk memerintahkan pembebasan terdakwa dari tahanan sekalipun terdakwa yang ditahan tersebut dijatuhi putusan pemidanaan.

     

    Akan tetapi terhadap hal ini, undang-undang sendiri membatasinya yaitu “sepanjang perintah pembebasan itu mempunyai alasan yang benar-benar masuk akal”.

     

    Jadi yang menentukan apakah terdakwa langsung ditahan atau tidak itu tergantung perintah pengadilan, yakni hakim melalui putusannya.

     

    Hal yang Dimuat dalam Putusan Pemidanaan

    Syarat yang harus dimuat dalam sebuah putusan hakim sebagaimana yang diatur dalam Pasal 197 KUHAP, berbunyi:

     

    1)    Surat putusan pemidanaan memuat:

    a.    kepala putusan yang dituliskan berbunyi: "DEMI KEADILAN BERDASARIKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";

    b.    nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;

    c.    dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

    d.  pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat-pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

    e.    tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

    f.   pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;

    g.    hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

    h.  pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

    i.     ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

    j.   keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;

    k.    perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;

    l.     hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;

    2)    Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan I pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum;

    3)    Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini.

     

    Itu artinya, perintah supaya terdakwa ditahan, tetap dalam tahanan, atau dibebaskan termasuk hal yang harus disebutkan di dalam suatu putusan pemidaan.

     

    Tetapi, sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Mahkamah Konstitusi (“MK”) menyatakan Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP inkonstitusional bersyarat. Artinya, Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP mengakibatkan putusan batal demi hukum.

     

    Karena itu, redaksional Pasal 197 ayat (2) KUHAP selengkapnya berubah menjadi, “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.”

     

    Jadi, jika surat putusan pemidanaan tidak memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan, maka tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum.

     

    Dalam artikel MK: Putusan Tanpa Perintah Penahanan Tetap Sah diinformasikan bahwa MK membenarkan suatu amar putusan pidana tetap perlu ada pernyataan terdakwa tersebut ditahan, tetap dalam tahanan, atau dibebaskan sebagai bagian dari klausula untuk menegaskan status terdakwa bersalah dan harus dijatuhi pidana. Namun, ada atau tidaknya pernyataan itu tidak dapat dijadikan alasan untuk mengingkari kebenaran materiil yang telah dinyatakan oleh hakim dalam amar putusannya.

     

    Jadi perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan harus terdapat dalam suatu putusan. Tetapi jika tidak disebutkkan dalam putusan, bukan berarti putusan tersebut batal demi hukum.

     

    Penangguhan Penahan

    Selanjutnya kami akan menjawab pertanyaan Anda lainnya yaitu jika terdakwa yang diputus pidana mengajukan banding, apakah boleh meminta penangguhan penahanan?

     

    Terkait dengan penangguhan penahanan, dapat kita lihat ketentuan dalam Pasal 31 KUHAP yang berbunyi:

     

    (1)  Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan;

    (2)  Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

     

    Dengan demikian, untuk seseorang mendapat penangguhan penahanan, harus ada:

    a.    Permintaan dari tersangka atau terdakwa;

    b.   Permintaan penangguhan penahanan ini disetujui oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim yang menahan dengan atau tanpa jaminan sebagaimana ditetapkan;

    c.    Ada persetujuan dari tersangka/terdakwa yang ditahan untuk mematuhi syarat dan jaminan yang ditetapkan.

     

    Secara ekspilisit memang tidak diatur apakah setelah putusan hakim, pada tingkat banding dapat mengajukan penangguhan penahanan. Akan tetapi, Pengadilan Tinggi yang memeriksa perkara tingkat banding memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan paling lama 30 hari.[7]

     

    M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan (hal. 214-215) menjelaskan bahwa wewenang penangguhan penahanan dapat diberikan oleh semua instansi penegak hukum, Pasal 31 ayat (1) KUHAP tidak membatasi kewenangan penangguhan penahan terhadap instansi tertentu saja. Masing-masing instansi penegak hukum yang berwenang memerintahkan penahanan, sama-sama mempunyai wewenang untuk menangguhkan penahanan. Baik penyidik, penuntut umum, maupun hakim mempunyai kewenangan untuk menangguhkan penahanan, selama tahanan yang bersangkutan masih berada dalam lingkungan tanggung jawab yuridis mereka.  

     

    Berangkat dari hal tersebut, artinya penangguhan penahanan pada tingkat banding dapat dilakukan.

     

    Artikel Majelis Hakim Kejati DKI Bisa Lakukan Penangguhan Terpidana Ahok sebagaimana yang kami akses dari laman berita Wartakota Tribunnews menginformasikan, Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra berpendapat bahwa penahanan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang akan mengajukan banding bisa ditangguhkan. Penangguhan penahanan ini bergantung pada Ketua Majelis Hakim yang menangani permohonan banding yang diajukan Ahok di Pengadilan Tinggi (“PT”) DKI Jakarta. Tapi semuanya tergantung pertimbangan Ketua PT atau majelis hakim apakah akan dikabulkan atau tidak. Yusril menambahkan, proses untuk mempertimbangkan permohonan penangguhan penahanan Ahok baru bisa dilakukan setelah berkas banding Ahok terdaftar di PT Jakarta.

     

    Jadi menjawab pertanyaan Anda, penanggguhan penahanan pada tingkat banding bisa dilakukan. Penangguhan penahanan ini bergantung pada Ketua PT atau majelis hakim yang menangani permohonan banding yang diajukan di PT.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

     

    Putusan:

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012.

     

    Referensi:

    1.   Yahya Harahap. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika.

    2.    Yahya Harahap. 2016. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.

     

     



    [1] Pasal 191 ayat (1) , Pasal 191 ayat (2), dan Pasal 193 ayat (1) KUHAP

    [2] Yahya Harahap, hal. 355

    [3] Yahya Harahap, hal. 355-356

    [4] Yahya Harahap, hal. 356

    [5] Yahya Harahap, hal. 356

    [6] Yahya Harahap, hal. 356

    [7] Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 87 KUHAP

    Tags

    pengadilan
    pengadilan tinggi

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Menghitung Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana

    3 Agu 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!