Intisari:
Pada dasarnya dalam hubungan kerja harus mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Apabila dalam hubungan antara sopir pribadi atau asisten rumah tangga dengan pemberi kerja terdapat unsur pekerjaan, upah, dan perintah yang didasarkan pada perjanjian kerja, maka hubungan tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah hubungan kerja. Berdasarkan keterangan yang Anda berikan, kami asumsikan upah bulanan Anda (gaji pokok Rp 1.000.000 + gaji harian Rp 130.000 x 20 hari kerja + uang transport Rp 400.000) adalah sebesar Rp 4.000.000. Cara perhitungan besaran THR keagamaan berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Permenaker 6/2016, ditetapkan sebagai berikut: Pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan sebesar 1 (satu) bulan upah; Pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan:
masa kerja x 1 (satu) bulan upah 12 Anda menyebutkan bahwa Anda telah bekerja selama 7 tahun, sehingga sesuai Pasal 3 ayat (1) huruf a Permenaker 6/2016, Anda berhak mendapat THR penuh sebesar satu bulan upah yang diperjanjikan yaitu Rp 4.000.000. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Hubungan Kerja
Hubungan kerja adalah hubungan antara Pemberi Kerja dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
[1]
Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
[2]
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
[3]
Dari penjelasan di atas, pada dasarnya dalam hubungan kerja harus mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Apabila dalam hubungan antara sopir pribadi atau asisten rumah tangga dengan pemberi kerja terdapat unsur pekerjaan, upah, dan perintah yang didasarkan pada perjanjian kerja,
[4] maka hubungan tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah hubungan kerja.
Pekerja Rumah Tangga
Definisi dari PRT berdasarkan Pasal 1 angka 1 Permenaker 2/2015 adalah sebagai berikut:
PRT adalah orang yang bekerja pada orang perseorangan dalam rumah tangga untuk melaksanakan pekerjaan kerumahtanggaan dengan menerima upah dan/atau imbalan dalam bentuk lain.
Pekerjaan kerumahtanggaan yang dimaksud adalah pekerjaan yang dilakukan dalam lingkup dan kepentingan rumah tangga.
[5]
PRT menerima upah/imbalan dalam bentuk lain dari orang perseorangan yang mempekerjakan PRT, atau disebut juga Pengguna PRT. Pengguna PRT dalam hal ini dapat merekrut calon PRT secara langsung atau melalui Lembaga Penyalur PRT.
[6]
memperoleh informasi mengenai Pengguna;
mendapatkan perlakuan yang baik dari Pengguna dan anggota keluarganya;
mendapatkan upah sesuai Perjanjian Kerja;
mendapatkan makanan dan minuman yang sehat;
mendapatkan waktu istirahat yang cukup;
mendapatkan hak cuti sesuai dengan kesepakatan;
mendapatkan kesempatan melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;
mendapatkan tunjangan hari raya (“THR”); dan
berkomunikasi dengan keluarganya.
Oleh karena itu, dalam Pasal 11 Permenaker 2/2015, disebutkan bahwa salah satu kewajiban dari Pengguna PRT adalah memberikan THR sekali dalam setahun.
Upah dan THR
Pada dasarnya hubungan kerja dibentuk sesuai kebutuhan dan kesepakatan. Namun, secara normatif unsur-unsur hubungan pekerjaan tetap merujuk kepada UU Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksananya.
Penghasilan yang layak merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar. Penghasilan yang layak tersebut diberikan dalam bentuk upah dan pendapatan non upah.
[8]
Menurut Pasal 6 ayat (1) PP Pengupahan, pendapatan non upah yang dimaksud berupa THR keagamaan.
Dalam Pasal 2 Permenaker 6/2016, diatur bahwa pengusaha wajib memberikan THR keagamaan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus atau lebih. Selain itu, THR keagamaan diberikan kepada pekerja/buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.
Pasal 6 Permenaker 6/2016 mengatur bahwa THR keagamaan diberikan dalam bentuk uang dengan ketentuan menggunakan mata uang rupiah Negara Republik Indonesia.
Perhitungan THR
Kemudian, mengenai besaran perhitugan THR keagamaan tidak diatur dalam UU Ketenagakerjaan, melainkan secara khusus diatur dalam Permenaker 6/2016.
Menurut Juanda Pangaribuan, Advokat Spesialisasi Ketenagakerjaan dan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial (2006-2016), PRT dan sopir pribadi kadang dipandang berbeda sebagai pekerja di perusahaan, padahal dalam perspektif UU Ketenagakerjaan bisa diberikan kedudukan sama. Sopir pribadi merupakan pekerja layaknya driver di perusahaan sehingga ia berhak atas THR. PRT pun demikian, mereka bisa disebut pekerja jika merujuk pada definisi pekerja/buruh, pemberi kerja, serta hubungan kerja sebagaimana diatur di Pasal 1 angka 3, angka 4, dan angka 15 UU Ketenagakerjaan. Jika melihat dari ketentuan itu, maka PRT dan sopir pribadi sama-sama berhak atas THR, karena diwajibkan bagi pengusaha/pemberi kerja untuk memberikan THR kepada pekerja/buruh. Selanjutnya ia menegaskan bahwa meskipun judul Permenaker 6/2016 mengenai THR keagamaan untuk pekerja/buruh di perusahaan, namun pengusaha pada dasarnya boleh orang perseorangan sebagai orang yang memberikan pekerjaan.
Beliau juga menambahkan bahwa penyebutan Permanaker 6/2016 tentang pemberian THR Keagamaan untuk pekerja/buruh di perusahaan bukan patokan bahwa Permenaker tersebut hanya untuk pekerja yang bekerja di perusahaan, namun tetap melihat definisi dalam ketentuan umum pada Permenaker 6/2016 tersebut atau peraturan perundang-undangan terkait yang lebih tinggi, karena definisi pekerja dan pengusaha dalam hubungan kerja, pada dasarnya adalah sama dalam UU Ketenagakerjaan.
Berdasarkan keterangan yang Anda berikan, kami asumsikan upah bulanan Anda (gaji pokok Rp 1.000.000 + gaji harian Rp 130.000 x 20 hari kerja + uang transport Rp 400.000) adalah sebesar Rp 4.000.000.
Cara perhitungan besaran THR keagamaan berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Permenaker 6/2016, ditetapkan sebagai berikut:
Pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan sebesar 1 (satu) bulan upah;
Pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan:
masa kerja x 1 (satu) bulan upah
12
Anda menyebutkan bahwa Anda telah bekerja selama 7 tahun, sehingga sesuai Pasal 3 ayat (1) huruf a Permenaker 6/2016, Anda berhak mendapat THR penuh sebesar satu bulan upah yang diperjanjikan yaitu Rp 4.000.000.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Catatan:
Kami telah melakukan wawancara dengan Juanda Pangaribuan via WhatsApp pada 3 September 2018 pukul 10.13 WIB.
[1] Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan
[2] Pasal 1 angka 4 UU Ketenagakerjaan
[3] Pasal 1 angka 30 UU Ketenagakerjaan
[4] Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak (Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan)
[5] Pasal 1 angka 2 Permenaker 2/2015
[6] Pasal 1 angka 3 jo. Pasal 2 Permenaker 2/2015
[7] Pasal 7 Permenaker 2/2015