KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Haruskah Izin MKD untuk Menyidik Anggota DPR yang Terlibat Tindak Pidana?

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Haruskah Izin MKD untuk Menyidik Anggota DPR yang Terlibat Tindak Pidana?

Haruskah Izin MKD untuk Menyidik Anggota DPR yang Terlibat Tindak Pidana?
Dimas Hutomo, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Haruskah Izin MKD untuk Menyidik Anggota DPR yang Terlibat Tindak Pidana?

PERTANYAAN

Dalam Hal Anggota DPR melakukan tindak Pidana apakah Harus ada Izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan untuk menyidik?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

     
    Penyidik tidak perlu mendapatkan izin/persetujuan dari Mahkamah Kehormatan Dewan untuk menyidik, namun wajib mendapatkan persetujuan tertulis Presiden dalam melakukan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 224 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     

    ULASAN LENGKAP

    Intisari:
     
     
    Penyidik tidak perlu mendapatkan izin/persetujuan dari Mahkamah Kehormatan Dewan untuk menyidik, namun wajib mendapatkan persetujuan tertulis Presiden dalam melakukan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 224 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     
     
     
    Ulasan:
     
    Terima kasih atas Pertanyaan Anda.
     
    Pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dijelaskan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Pengertian tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.[1]
     
    Perlu diketahui bahwa secara umum penyidik berwenang untuk:[2]
    1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
    2. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
    3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
    4. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
    5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
    6. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
    7. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
    8. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
    9. mengadakan penghentian penyidikan;
    10. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
     
    Jadi, pemanggilan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) yang diduga sebagai pelaku tindak pidana untuk diperiksa keterangannya merupakan salah satu wewenang penyidik dalam proses penyidikan.
     
    Sehubungan diperlukannya pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (“MKD”) dalam mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden untuk melakukan pemanggilan dan permintaan keterangan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU MD3”) sebagaimana telah diubah, terakhir kali oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU 2/2018”) telah mengaturnya dalam Pasal 245 ayat (1) UU 2/2018. Bunyi pasal tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut:
     
    Pasal 245 ayat (1)  UU 2/2018
    Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
     
    Yang dimaksud dengan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas anggota DPR menurut Pasal 224 UU 2/2018 adalah:
    1. Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.[3]
    2. Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR.
    3. Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
     
    Sebagai informasi tambahan, menurut Pasal 245 ayat (2) UU 2/2018 persetujuan tertulis dari Presiden tersebut tidak berlaku terhadap anggota DPR yang :
    1. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
    2. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
    3. disangka melakukan tindak pidana khusus.
     
    Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 (“Putusan MK 16/2018”) telah menyatakan bahwa frasa dalam Pasal 245 ayat (1) 2/2018 bertentangan dengan UUD 1954 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
     
    Sebagai informasi, Putusan MK 16/2018 tersebut mencabut di antaranya :
    1. Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU 2/2018
    2. Pasal 122 huruf l UU 2/2018; dan
    3. Frasa pada Pasal 245 ayat (1) UU 2/2018.
     
    Lebih spesifik dalam Pasal 245 ayat (1) UU 2/2018 terdapat frasa “pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas” yang dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dalam konteks semata-mata pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana.
     
    Sementara itu, frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
     
    Sehingga setelah ada Putusan MK 16/2018, frasa Pasal 245 ayat (1) UU 2/2018 selengkapnya menjadi berbunyi:
     
    Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 224, harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden.
     
    Pertimbangan dicabutnya frasa tersebut adalah karena frasa pada pasal 245 ayat (1) dinilai kontradiktif dengan filosofi dan hakikat pemberian hak imunitas anggota DPR yang secara kontekstual seharusnya menjadi dasar pemikiran atau latar belakang pembentukan MKD.
     
    Selain itu, tidak relevan dan tidak tepat MKD dilibatkan untuk memberi pertimbangan terkait persetujuan tertulis presiden dalam hal seorang anggota DPR dipanggil dan dimintai keterangan dalam rangka penyidikan karena dugaan melakukan tindak pidana karena MKD adalah lembaga etik yang keanggotaannya berasal dari dan oleh anggota DPR sehingga ada konflik kepentingan.
     
    Menjawab pertanyaan Anda, penyidik tidak perlu mendapatkan izin dari MKD untuk menyidik, namun wajib mendapatkan persetujuan tertulis Presiden dalam melakukan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 224 UU 2/2018.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
     
    Referensi:
    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018

    [1] Pasal 1 angka 14 KUHAP
    [2] Pasal 7 ayat (1) KUHAP
    [3] Ketentuan ini tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 224 ayat (1) UU 2/2018)

    Tags

    hukumonline
    uu md3

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Konversi Utang Jadi Setoran Saham, Ini Caranya

    14 Sep 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!