Talk!hukumonline - Discussion

Suap, "Keharusan" Bagi Pelaku Usaha?

Mengetahui indikator maraknya paraktik suap yang terjadi antara pelaku usaha dan institusi publik, faktor-faktor yang dapat menjadi trigger dalam praktik suap-menyuap dan upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir praktik suap yang telah berkembang.

Project

Bacaan 2 Menit

Para narasumber dan moderator. Foto: Project.

 

Maraknya kasus suap antara pelaku usaha dan institusi publik masih merajaleladi negara ini. Usaha represif yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dimulai dari runtutan peristiwa penangkapan terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan dan Al Amin Nasution dimana keduanya tertangkap tangan menerima suap, rupanya tidak menyurutkan nyali para pelaku suap. Suap masih ramai terjadi di institusi pengadilan dan di institusi-institusi publik lainnya, bahkan dalam hal pengadaan barang dan jasa dan interaksi bisnis lainnya seperti pengurusan perijinan.

Runtutan peristiwa tersebut mungkin saja hanya merupakan peringatan kepada para calon penyuap untuk lebih waspada dalam bertindak. Namun apakah usaha KPK tersebut berhasil meminimalisir praktik suap? Bagi kalangan tertentu peristiwa penyuapanseseorang adalah merupakan sebuah common practice untuk bisa mendapatkan keringanan, bantuan atau kelancaran demi bisnis usahanya. Hal ini terlihat dari hasil survey Transparency International Indonesia (TII) 2008, yang menyatakan bahwa dari total interaksi atau kontak antara pelaku usaha  dengan institusi publik, hampir setengahnya terjadi suap. TII memiliki indikator yang dikenal dengan  nama Indeks Persepsi Korupsi (IPK), yaitu indeks yang mengukur persepsi pelaku usaha  terhadap praktik suap di suatu daerah.

Berdasarkan data yang diperoleh TII, terlihat besarnya peluang untuk melakukan praktik suap-menyuap. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, Apakah inisiatif suap bearasal dari pelaku usaha ataukah oknum institusi publik? Apasajayang merupakan faktor-faktor yang bisa menjadi trigger dalam praktik suap-menyuap ini? Apakah terkait dengan materi, mental, moralitas atau kondisi sosial masyarakat? Seberapa sulitkah para pelaku usahamenghindari praktik suap-menyuap ini?

Pertanyaan – pertanyaan di atas penting untuk dijawab. Pasalnya, praktik suap – menyuap selalu membawa konsekuensi negatif terhadap proses demokratisasi dan pembangunan yang berkelanjutan seperti mendelegetimasi proses demokrasi dengan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik melalui politik uang,  mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, membuat tiadanya akuntabilitas publik, dan menafikan the rule of law. Hukum dan birokrasi hanya melayani kepada kekuasaaan dan pemilik modal, meniadakan sistim promosi dan hukuman yang berdasarkan kinerja karena hubungan patron-client dan nepotisme, mengakibatkan proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mengganggu pembangunan yang berkelanjutan dan mengakibatkan kolapsnya sistem ekonomi karena produk yang tidak kompetitif dan penumpukan beban hutang luar negeri.

 

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka www.hukumonline.com, telah mengadakan Talk!hukumonline Discussion dengan tema “SUAP, "KEHARUSAN" BAGI PELAKU USAHA?” pada 16 Februari 2009 yang lalu, bertempat di Diamond Ballroom I, Hotel Nikko Jakarta  dengan dihadiri oleh narasumber – narasumber sebagai berikut:

 

  • Todung Mulya Lubis (Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia (TII))
  • Mohammad Jasin (Wakil Ketua Komisi  Pemberantasan Korupsi (KPK))
  • Rahmat Soemadipradja (Praktisi hukum dan Partner pada S&T Attorneys)
  • Djimanto (Ketua APINDO).  

 

 

Moderator : Imam Nasima (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK))

 

Notulensi diskusi ini tersedia gratis bagi para pelanggan hukumonline.com.* Silahkan hubungi kami via email talks(at)hukumonline(dot)com.

 

 

*syarat ketentuan berlaku