Talk! hukumonline - discussion

Kontroversi Pelarangan Pengajuan PK Oleh Advokat Dalam Kasus Pidana

siapa sajakah yang berhak mengajukan peninjauan kembali dalam kasus pidana? Hal apa yang menjadi dasar yuridis para advokat/kuasa hukum terpidana dalam mengajukan permohonan peninjauan kembali? Dasar yuridis, sosiologis dan filosofis apakah yang melandasi Mahkamah Agung dalam memutuskan (menerima, tidak menerima atau menolak) permohonan peninjauan kembali?

Project

Bacaan 2 Menit

Talk!hukumonline : kontroversi PK. Foto : Sgp.

 

Ketentuan mengenai upaya hukum yang sering menimbulkan persoalan adalah upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK/herziening). Terutama dalam kasus pidana. Persoalan akan muncul ketika bicara tentang siapa yang berhak mengajukan PK.

Belum hilang perdebatan tentang kewenangan jaksa mengajukan PK, kini muncul kontroversi baru. Berawal dari tidak diterimanya permohonan PK yang diajukan oleh pengacara Taswin Zein, terpidana kasus korupsi proyek peningkatan Pelatihan Pemagangan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI.

 Mahkamah Agung menyatakan tidak dapat menerima permohonan PK Taswin Zein ini. Alasannya, pengajuan PK dilakukan oleh pengacara Taswin. Majelis hakim agung tingkat PK mengacu pada Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang tegas menyatakan bahwa yang berhak untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya.

Majelis hakim agung PK perkara Taswin Zein yang diketuai Artidjo Alkostar bersikukuh bahwa Pasal 263 KUHAP hanya memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan PK. Di samping itu, praktek PK oleh kuasa hukum ini juga dianggap melanggar Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang pernah dikeluarkan pada 1984 dan 1988 ketika MA dipimpin oleh Adi Andojo dan Ali Said

Dalam kasus tersebut, pengacara Taswin Zein mengaku memiliki dasar mengajukan PK sebagai kuasa hukum Taswin. Ia menunjuk Lampiran Keputusan Menkeh M.14-PW.07.03 Tahun 1983. Surat tertanggal 10 Desember 1983 menyatakan permohonan kasasi dapat diajukan oleh kuasa hukum terpidana. Menyitir pendapat M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, ketentuan itu juga dapat digunakan dalam pengajuan PK. Selain itu, pengacara Taswin mengaku baru kali ini menemui alasan penolakan pengajuan PK seperti ini.  

Persoalan lain mengenai siapa yang bisa mengajukan peninjauan kembali juga sempat muncul dalam kasus Korupsi Ruislag Goro dengan terpidana Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Meskipun sebagai terpidana Tommy berhak mengajukan peninjauan kembali, akan tetapi pada saat peninjauan kembali diajukan status Tommy adalah buron sehingga yang mengajukannya adalah kuasa hukumnya. Sekalipun Mahkamah Agung akhirnya mengabulkan permohonan peninjauan kembali tersebut, namun sebuah Majelis Eksaminasi yang dibentuk dari kalangan organisasi non pemerintah (ORNOP) menilai bahwa berdasarkan (penafsiran) ketentuan Pasal 263 jo Pasal 265 ayat (2) jo Surat Ketua Muda Mahkamah Agung tertanggal 2 November 1984 nomor 4984/TU/84/3951/PID, permohonan peninjauan kembali yang diajukan bukan oleh terpidana sendiri adalah cacat hukum.

Dari dua contoh kasus di atas akan muncul pertanyaan, siapa sajakah yang berhak mengajukan peninjauan kembali dalam kasus pidana? Hal apa yang menjadi dasar yuridis para advokat/kuasa hukum terpidana dalam mengajukan permohonan peninjauan kembali? Dasar yuridis, sosiologis dan filosofis apakah yang melandasi Mahkamah Agung dalam memutuskan (menerima, tidak menerima atau menolak) permohonan peninjauan kembali?  

Sehubungan dengan hal tersebut, maka www.hukumonline.com telah menyelenggarakan Talk!hukumonline – Discussion: “Kontroversi Pelarangan Pengajuan PK oleh Advokat dalam Kasus Pidana” , Pada kamis, 25 Maret 2010, bertempat di Daniel S.Lev Library, Puri Imperium, Unit UG. 16, Jakarta, dengan dihadiri oleh narasumber sebagai berikut :

  • Prof. Dr. Krisna Harahap S.H.,M.H (Hakim Ad hoc Mahkamah Agung)
  • Dr. Luhut M. Pangaribuan S.H., LL.M (Akademisi/Advokat)

Moderator : M. Yasin (Pimpinan Redaksi hukumonline.com)