Seminar Partai Demokrat Bekerjasama dengan Hukumonline

Kewajiban CSR sebagai Instrumen Pemotongan Pajak

Bagaimanakah wacana CSR sebagai instrumen pemotongan pajak? Masalah apa saja yang muncul sehubungan dengan kewajiban CSR sebagai Instrumen pemotongan pajak?

Project

Bacaan 2 Menit

Seminar Partai Demokrat - hukumonline. Foto : Sgp.
Seminar Partai Demokrat - hukumonline. Foto : Sgp.

 

Tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR (corporate social responsibility) menjadi hal  yang semakin populer dan marak diterapkan perusahaan di berbagai belahan dunia. Semakin marak dan menguatnya prinsip good corporate governance seperti fairness, transparency, accountability, dan responsibility telah mendorong CSR semakin menyentuh “jantung hati” dunia bisnis.

Menurut Alyson Warhust, CSR didefinisikan sebagai upaya sungguh-sungguh entitas bisnis untuk meminimumkan dampak negative dan memaksimalkan dampak positif operasi perusahaan seluruh pemangku kepentingan dalam ranah ekonomi, sosial dan lingkungan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Definisi ini sesuai dengan konsep triple bottom line atau piramida CSR Archie Carrol yang sangat terkenal.

Di dalam piramida tersebut dijelaskan bahwa tanggung jawab untuk menjalankan bisnis sesuai dengan norma-norma positif yang didukung oleh masyarakat luas dimana bisnis itu beroperasi ditaruh di tingkat tiga. Tingkat pertama adalah tanggung jawab ekonomi (mencari keuntungan), kedua adalah tanggung jawab untuk patuh terhadap hukum yang berlaku dan di puncak piramida adalah tanggung jawab tambahan atau fiduciary.

Di Indonesia, Corporate Social Responsibility (CSR) diatur ketat dalam regulasi melalui Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan Pasal 15 huruf (b) UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. CSR tersebut dianggap sebagai bagian dari kewajiban yang dilekati sanksi. Meskipun hal tersebut masih menjadi perdebatan hingga saat ini karena dianggap tidak sesuai dengan konsep asli CSR yang sifatnya sukarela dan tidak diatur oleh regulasi atau beyond regulation. Meskipun demikian, CSR telah ditegaskan sebagai kewajiban melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 yang sifatnya final dan binding. Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana implementasi CSR sebagai kewajiban tersebut setelah dikeluarkannya Putusan MK tersebut? Dampak apa sajakah yang timbul?

Masalah lain yang muncul adalah masalah penyediaan dana CSR terkait erat dengan kondisi perpajakan, apabila dilihat dari perspektif perusahaan. Dari sudut Pajak Penghasilan (PPh), perusahaan biasanya harus memilih strategi sehingga semua biaya yang dikeluarkan untuk program CSR yang dipilih dapat dibebankan sebagai biaya yang mengurangi laba kena pajak. Sementara dari sudut Pajak Pertambahan Nilai (PPN), perusahaan biasanya memilih strategi tertentu sehingga barang atau jasa yang diberikan kepada pihak penerima tidak terhutang PPN atau kalaupun terhutang diupayakan seminimal mungkin.

CSR bagi perusahaan adalah pengeluaran, begitu pula dengan pajak yang harus mereka bayarkan. Sederhananya, membayar pajak sekaligus mengeluarkan anggaran untuk kegiatan CSR berarti pengeluaran ganda bagi perusahaan. Perhitungan ekonomis akan melihat pengeluaran ini sebagai kerugian perusahaan.

Oleh karena itu, para pengusaha mendorong Pemerintah untuk segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) atas implementasi Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2007 tentang pembebasan pajak dari tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR). Pasalnya, saat ini perseroan terpaksa harus rela dipotong anggaran CSR-nya hanya untuk pajak CSR sebesar 30-35%. Padahal, di Amerika Serikat misalnya, dengan pertimbangan penguatan kelompok-kelompok masyarakat sipil, maka perusahaan yang menyumbang kepada kelompok yang masuk dalam kategori 501 (c) 3, akan mendapatkan pemotongan pajak. Hal tersebut juga terjadi di beberapa negara Eropa.

Oleh karena itu, kabar mengenai akan dikeluarkannya peraturan pemerintah (PP) tentang pengurangan pajak yang drafnya selesai dibahas pada 30 November mendatang mendapat banyak masukan dari para pengusaha. RPP ini merupakan turunan dari UU No 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).  Di dalam RPP tersebut, donasi untuk kegiatan sosial atau filantropi akan menjadi pengurang pembayaran pajak penghasilan (PPh) pribadi maupun perusahaan. Para pengusaha berharap RPP tersebut juga mengatur mengenai pengurangan pajak untuk program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/ CSR).

Meskipun pemotongan pajak (tax deduction) merupakan bentuk yang popular di luar negeri dan menjadi wacana yang hangat di negeri ini, namun keberlakuannya di Indonesia tetap memerlukan pertimbangan masak-masak. Pertama dan merupakan hal yang penting adalah pemotongan pajak dapat menjadi isu yang sensitif dan berpotensi membuat jarak yang lebih besar di antara perusahaan dan pemangku kepentingan saat ini yang sebenarnya berada dalam kondisi yang dapat dikatakan low trust. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimanakah solusi atas permasalahan tersebut? 

Kedua, pemotongan pajak yang merupakan salah satu bentuk insentif pajak harus mempertimbangkan kinerja. Sistem insentif bagi yang berkinerja tinggi haruslah diimbangi dengan sistem insentif bagi yang kinerjanya rendah demi terciptanya keadilan. Namun, menjadi hal yang perlu dikaji dan diperhatikan adalah bagaimana langkah terbaik untuk melakukan keseimbangan tersebut?

Pembahasan di atas hanyalah setitik air di tengah samudera. Masih banyak hal-hal lainnya yang perlu di kaji secara lebih mendalam. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Partai Demokrat bekerjasama dengan hukumonline telah menyelenggarakan Seminar Partai Demokrat Bekerjasama dengan Hukumonline : KEWAJIBAN CSR SEBAGAI INSTRUMEN PEMOTONGAN PAJAK, yang telah diselenggarakan pada :

Hari/Tanggal   : Kamis, 9 Desember 2010

Pukul             : 08.30 – 14.00 WIB

Tempat          : Diamond Ballroom I, Nikko Hotel

                     Jl. M.H.Thamrin 59, Jakarta

 

Seminar ini  telah menghadirkan :

Keynote speech:

Deny Kailimang S.H., M.H (Ketua Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum Partai Demokrat)


Narasumber :

  1. M. iqbal Alamsyah (Direktur Penyuluhan dan Pelayanan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak)
  2. Achsanul Qosasi (Wakil Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat RI)
  3. Indra Safitri S.H., M.M.,CIRM (Praktisi Hukum)
  4. Prof. Dr.Suroso (Tim Lembaga Management FEUI)
  5. M. Slamet Wibowo (Tim Lembaga Management FEUI)

 
Moderator :

  1. Willem A. Makaliwe (Tim Lembaga Management FEUI)
  2. Alexander Lay, S.H., LL.M. (Praktisi Hukum)

         

Jika anda tertarik dengan notulensi seminar ini, silahkan  hubungi kami via email ke talks(at)hukumonline(dot)com. Notulensi seminar ini tersedia gratis bagi pelanggan hukumonline.com*.

*syarat dan ketentuan berlaku