10 Putusan Mahkamah Konstitusi Terpilih
Berita

10 Putusan Mahkamah Konstitusi Terpilih

Salah satu perkembangan ketatanegaraan Indonesia dalam setahun terakhir, khususnya di bidang kekuasaan kehakiman, adalah terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah ini adalah pelaksana kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung (MA).

Oleh:
Tim Redaksi
Bacaan 2 Menit

Selain merevisi sebagian isi pasal 12 ayat (3) dan pasal 22 ayat (1) UU Migas, MK juga mencabut kekuatan mengikat pasal 28 ayat (2) dan ayat (3). Masalahnya, pasal yang disebut terakhir adalah pasal penyerahan penentuan harga BBM kepada mekanisme pasar. MK berpendapat ‘campur tangan' pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak'. Toh, Pemerintah masih dapat menentukan harga berdasarkan harga pasar.

6. Kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia dipangkas (Reg. No.05/PUU-I/2003)

Sebagai pelaksanaan suatu undang-undang, pemerintah akan menerbitkan PP. Kewenangan membuat PP sepenuhnya ada di tangan pemerintah, dalam hal ini presiden dan jajaran pemerintahan. Tetapi Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 justru mengikutsertakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam penyusunan PP. Melalui putusan yang dibacakan 28 Juli, MK mengoreksi ‘kesalahan' yang tampak sepele itu. MK menyatakan anak kalimat KPI bersama… yang terdapat pada pasal 62 ayat (1), atau anak kalimat ‘atau terjadi sanggahan' pada pasal 44 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945.

Itulah jawaban MK atas permohonan judicial review yang diajukan berbagai organisasi penyiaran dan pertelevisian. Putusan itu bagaimanapun telah memangkas kewenangan KPI. Komisi ini tidak lagi berwenang membuat regulasi tentang Lembaga Penyiaran Publik, kepemilikan silang, peliputan lembaga penyiaran asing, sistem stasiun jaringan, tata cara izin lembaga penyiaran berlangganan, izin menyelenggarakan siaran dan sanksi administratif.

7. Pijakan hukum boleh dibatalkan, tetapi pemerintahan tetap jalan (Register No. 18/PUU-I/2003)

Jika suatu peraturan dibatalkan keberlakuannya, mestinya lembaga yang didirikan berdasarkan peraturan tersebut bubar. Tetapi tidak demikian halnya dengan putusan MK tentang pemekaran Papua. Dalam putusannya (11/11), MK menyatakan UU No. 45 Tahun 1999 tidak lagi mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun, pembentukan provinsi Irian Jaya Barat dan sejumlah kabupaten yang didasarkan pada UU tersebut tidak ikut dibubarkan. Alasannya, pemerintahan di sana sudah jalan, dan putusan MK baru berlaku sejak mulai dibacakan. Jadi, tidak berlaku surut.

8. Hapusnya ketidakadilan UU Ketenagakerjaan (Register No. /PUU-I/2003)

Di penghujung Oktober 2004, MK mengabulkan sebagian permohonan pengujian UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK). MK mencabut pasal 158 dan 159 serta menghapus beberapa bagian anak kalimat pada pasal 160 ayat (1), pasal 170, pasal 171 dan pasal 186. Bahkan dua orang hakim konstitusi, lewat dissenting opinion, meminta lebih banyak pasal yang dikabulkan pengujiannya.

Pasal 158 memberi wewenang kepada pengusaha untuk mem-PHK buruh tanpa melalui pengadilan dan tanpa perlu didukung pengujian alat bukti. Ini berbeda dengan pasal 160 UUK sendiri yang menentukan, buruh yang ditahan polisi bukan atas pengaduan pengusaha masih memperoleh sebagian hak hingga putusan pengadilan ada. Tentu saja secara logika, pengusaha akan memilih cara yang diatur pasal 158 tadi. Celakanya, jika dibawa ke pengadilan, beban pembuktian ada di pundak buruh. Padahal buruh selalu berada di pihak yang lemah.

Itulah sebabnya MK memandang adanya perlakuan diskriminatif sehingga menyatakan pasal 158 dan 159 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Tetapi, dalam putusannya, MK menolak pengujian pasal-pasal mengenai outsourcing.

Halaman Selanjutnya:
Tags: