Tercatat ada sebelas orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) 2019-2024 bergelar doktor hukum. Tentu saja ada perbedaan kemampuan di antara pemilik gelar sarjana hukum, magister hukum, dan doktor hukum. Lalu, apa saja kemampuan yang bisa diharapkan dari para doktor hukum di DPR itu?
“Satu hal yang penting adalah anggota DPR bisa membawa suara konstituen, menjembatani kebutuhan konstituen dengan temuan lain yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah saat membentuk hukum,” kata Gita Putri Damayana, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) kepada Hukumonline. Namun, wajar jika gelar doktor hukum para anggota DPR itu mengundang harapan publik.
Setidaknya saat ini ada dua alat ukur kompetensi keilmuan hasil studi pendidikan tinggi. Pertama adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (Permendikbud SN-DIKTI). Kedua adalah Peraturan Presiden No.8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (Perpres KKNI).
Permendikbud SN-DIKTI menegaskan bahwa penguasaan keilmuan seorang doktor berbeda dengan jenjang di bawahnya. Hal itu karena sejak awal berbeda kedalaman dan keluasan materi yang dipelajari. Uraian lebih lanjut soal kualifikasi doktor bisa ditemukan dalam Perpres KKNI. Dua regulasi ini saling berkaitan.
Baca Juga:
- Sarjana Hukum Bukan Jaminan Mutu, Simak 3 Tips Pilih Anggota DPR
- Perlukah Lebih Banyak Sarjana Hukum di Kursi Anggota DPR?
Merujuk Pasal 9 Permendikbud SN-DIKTI, lulusan program doktor, doktor terapan, dan subspesialis paling sedikit menguasai filosofi keilmuan bidang pengetahuan dan keterampilan tertentu. Bandingkan misalnya dengan lulusan sarjana dan magister.
Permendikbud SN-DIKTI di pasal yang sama menyebut lulusan program diploma empat dan sarjana paling sedikit menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan dan keterampilan tertentu secara umum dan konsep teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan dan keterampilan tersebut secara mendalam. Lalu, lulusan program magister, magister terapan, dan spesialis paling sedikit menguasai teori dan teori aplikasi bidang pengetahuan tertentu.