16 Hal yang Wajib Dipenuhi ‘Pemain’ Peer to Peer Lending dalam Fintech
POJK Fintech:

16 Hal yang Wajib Dipenuhi ‘Pemain’ Peer to Peer Lending dalam Fintech

Industri layanan pinjam meminjam berbasis Fintech ini bukan untuk pebisnis yang sekedar ‘main-main’.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Otoritas Jasa Keuangan. Foto: RES
Otoritas Jasa Keuangan. Foto: RES
Menutup tahun 2016 kemarin, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya menerbitkan aturan main bagi pelaku usaha jasa keuangan berbasis online (Financial Technology/Fintech). Aturan terbaru ini mengatur mengenai penyelenggaraan layanan pinjam meminjam dari pemberi kepada penerima pinjaman atau lazim disebut dengan skema Peer to Peer Lending.

Aturan yang dituangkan lewat POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi ini diteken oleh Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad dan mulai berlaku sejak 29 Desember 2016 silam. Terdiri dari 52 Pasal, POJK Peer to Peer Lending mengatur sangat rinci para pihak yang terlibat dalam skema ini, mulai dari pemberi pinjaman, penerima pinjaman, dan penyelenggara layanan pinjam meminjam.

“Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dana tunai secara cepat, mudah, dan efisien, serta meningkatkan daya saing,” demikian tulis Penjelasan Umum aturan ini.

Catatan Hukumonline, paling tidak ada sejumlah poin penting yang wajib dipatuhi oleh para pihak dalam penerapan skema peer to peer lending. Bagi penyelenggara layanan pinjam meminjam, setidaknya terdapat 16 poin yang wajib mereka patuhi agar mendapat pernyataan efektif dari OJK. (Baca Juga: OJK Terbitkan 77 Regulasi Sepanjang 2016, Cek Daftarnya)

Pertama, ketentuan mengenai permodalan, kepemilikan, serta status badan hukum si penyelenggara. Penyelenggara layanan boleh berbedan hukum Perseroan Terbatas ataupun Koperasi. Keduanya, wajib memiliki modal disetor atau modal sendiri (untuk koperasi) minimal Rp1 miliar pada saat pendaftaran. Namun, sewaktu akan mengajukan permohonan perizinan, penyelenggara baik itu berbadan hukum PT ataupun Koperasi wajib menyetorkan modal paling sedikit Rp2,5 miliar.

Khusus untuk penyelenggara berbadan hukum PT, dapat didirikan dan dimiliki tak cuma oleh badan hukum Indonesia atau Warga Negara Indonesia (WNI), tapi juga didirikan dan dimiliki oleh Warga Negara Asing (WNA) atau badan hukum asing sepanjang kepemilikan sahamnya baik secara langsung ataupun tidak langsung tidak melebihi 85%. 

Selain itu, berdasarkan Pasal 12 POJK ini, setiap perubahan kepemilikan penyelenggara harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari OJK. Persetujuan tersebut dilakukan untuk menilai kelayakan dan kesesuaian calon pemilik dengan memperhatikan persyaratan yang telah ditentukan dalam POJK ini. (Baca Juga: 6 Poin yang Akan Diatur dalam Peraturan OJK Tentang Fintech)

Kedua, penyelenggara wajib mengajukan permohonan izin. Meski penyelenggara terlah terdaftar di OJK, penyelenggara tetap wajib mengajukan izin sebagai penyelenggara layanan pinjam meminjam paling lama satu tahun sejak tanggal terdaftar di OJK. Bila lewat dari waktu itu, OJK akan menyatakan batal seluruh kelengkapan yang sudah dipenuhi sebelumnya seperti surat tanda bukti terdaftar itu dinyatakan batal. Akibatnya, penyelenggara tersebut tidak dapat lagi menyampaikan permohonan izin kepada OJK.

Pasal 10 ayat (4) POJK tersebut menyatakan bahwa penyelenggara yang surat bukti terdaftarnya dinyatakan batal, maka penyelenggara tersebut wajib menyelesaikan hak dan kewajiban pengguna (pemberi dan penerima pinjaman) sesuai dalam surat pernyataan rencana penyelesaian. Kelengkapan yang mesti dilampirkan tertuang rinci dalam Pasal 11 POJK ini.

Ketiga, penyelenggara wajib membuat skema rencana penyelesaian. Kondisi ini diperlukan tatkala penyelenggara masih terdaftar masih terdaftar namun menyatakan tidak mampu meneruskan kegiatan operasionalnya, maka penyelenggara tersebut harus mengajukan permohonan terlebih dahulu kepada OJK yang disertai dengan alasan ketidakmampuan itu.

Selain menyampaikan alasan ketidakmampuan itu, OJK mewajibkan penyelenggara agar menyampaikan skema atau rencana penyelesaian hak dan kewajiban pengguna mengenai hak dan kewajiban antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Pasal 13 ayat (2) POJK ini mengatur bahwa OJK mencabut izin penyelenggara paling lambat 20 hari sejak tanggal permohonan.

Keempat, batas maksimum total pemberian pinjaman dana dibatasi maksimal Rp2 miliar. Namun, ada peluang terjadi perubahan batas maksimum total pemberian pinjaman dana sepanjang OJK melihat dan mempertimbangkan dari segi perkembangan ekonomi atau kondisi industri penyelenggara layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi.

Yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika sebelum POJK ini berlaku ada perjanjian peer to peer lending yang melebihi batas maksimum? Jawabannya, Pasal 50 POJK Peer to Peer Lending ini mengatur bahwa perjanjian tersebut tetap dapat dilanjutkan meski melebihi batas maksimum pemberian pinjaman sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian tersebut. (Baca Juga: Begini Isi Peraturan BI Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran)

Kelima, kewajiban penyelenggara melakukan pelaporan kepada OJK. Boleh dikatakan, ada sejumlah pasal yang masing-masing mengatur soal kewajiban pelaporan kepada OJK. Pasal 9 aturan ini meminta penyelenggara menyampaikan laporan berkala setiap triwulan sekali (setiap akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember) yang memuat jumlah pemberi pinjaman dan penerima pinjaman, kualitas pinjaman yang diterima, dan kegiatan yang telah dilakukan setelah terdaftar di OJK.

Selain laporan berkala di atas, OJK juga meminta penyelenggara rutin melaporkan secara elektronik setiap bulannya dalam hal terdapat pengaduan dari pengguna pinjaman dengan disertai tindak lanjut penyelesaian terhadap aduan tersebut. Tak sampai itu, OJK juga mewajibkan penyelenggara untuk menyampaikan laporan bulanan dan laporan tahunan secara elektronik yang materi laporannya diatur rinci dalam Pasal 45 dan pasal 46 POJK ini.

Keenam, standar minimal SDM. OJK ingin memastikan setiap sumber daya manusia yang dipekerjakan pada sebuah perusahaan fintech mumpuni di bidang teknologi informasi. Pasal 14 ayat (1) POJK ini mengatur keahlian di bidang teknologi informasi yang dimaksud terkait pengembangan dan pemeliharaan aplikasi, serta pengamanan database.

Selain itu, penyelenggara juga wajib memiliki seorang direksi dan seorang anggota komisaris yang punya pengalaman paling sedikit di industri jasa keuangan minimal satu tahun. Kemudian, penyelenggara juga harus meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan yang mendukung pengembangan layanan pinjam meminjam uang berbasis fintech antara lain melalui pusat pendidikan swasta atau pada OJK Incubator Center.

Ketujuh, syarat minimal bentuk perjanjian para pihak. Pasal 18 POJK ini mengatur bahwa perjanjian pelaksanaan peer to peer lending ini meliputi perjanjian antara penyelenggara dengan pemberi jaminan dan perjanjian antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman. Pasal 19 dan Pasal 20 mengatur rinci poin-poin yang wajib tercakup dalam perjanjian.
Poin yang Dimuat dalam Perjanjian Antara Para Pihak
Penyelenggara Elektronik dengan Pemberi PinjamanPemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman
1.    nomor perjanjian;
2.    tanggal perjanjian;
3.    identitas para pihak;
4.    ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak;
5.    jumlah pinjaman;
6.    suku bunga pinjaman;
7.    besarnya komisi;
8.    jangka waktu;
9.    rincian biaya terkait;
10.  ketentuan mengenai denda(jika ada);
11.  mekanisme penyelesaian sengketa; dan
12.  mekanisme penyelesaian dalam hal Penyelenggara tidak dapat melanjutkan kegiatan operasionalnya.
1.    nomor perjanjian;
2.    tanggal perjanjian;
3.    identitas para pihak;
4.    ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak;
5.    jumlah pinjaman;
6.    suku bunga pinjaman;
7.    nilai angsuran;
8.    jangka waktu;
9.    objek jaminan (jika ada);
10.  rincian biaya terkait;
11.  ketentuan mengenai denda(jika ada); dan
12.  mekanisme penyelesaian sengketa.

Kedelapan, kerjasama dengan penyelenggara layanan pendukung. Penyelenggara dapat mengadakan kerjasama dengan pihak yang mendukung penyelenggaraan layanan pinjam meminjam uang berbasis fintech, antara lain big data analytic, aggregator, robo advisor, atau blockchain. Pasal 49 POJK Peer to Peer Lending ini mengatur bahwa pelaksanaan kerja sama tersebut  mulai berlaku dua tahun kedepan sejak POJK ini diundangkan.
Big data analytic adalah layanan analisis berbasis teknologi informasi terhadap sekumpulan data dalam jumlah yang besar dan beragam, yang meliputi berbagai macam tipe seperti data terstruktur/tidak terstruktur, streaming/batch, dalam berbagai ukuran besaran data untuk mengungkap pola, hubungan yang tidak diketahui, tren pasar, preferensi konsumen, dan informasi bisnis yang dapat menghasilkan proses pemasaran yang lebih efektif, peluang keuntungan baru, layanan konsumen yang lebih baik, peningkatan efisiensi kegiatan operasional, peningkatan daya saing, serta keuntungan-keuntungan lainnya.
Aggregator adalah layanan berbasis teknologi informasi yang menghubungkan sistem dari berbagai sumber online untuk mengumpulkan dan menyediakan informasi yang telah memiliki nilai tambah kepada konsumen agar dapat memilih produk atau layanan sesuai dengan kebutuhan preferensinya.
Robo advisor adalah layanan manajemen investasi berbasis teknologi informasi yang menyediakan layanan manajemen portofolio secara otomatis berdasarkan algoritma untuk membantu investor dalam mengelola keuangan dan investasi tanpa melibatkan manajer investasi manusia.
Blockchain adalah layanan pembukuan transaksi keuangan berbasis teknologi informasi yang mencatat dan menyimpan data bukti transaksi atau ledger yang terdistribusi melalui jaringan komputer baik secara private maupun public.

Kesembilan, penyelenggara wajib menggunakan escrow account dan virtual account. Pasal 24 ayat (2) mengatur bahwa penyelenggara wajib menyediakan virtual account bagi setiap pemberi pinjaman. Tujuan kewajiban penggunaan virtual account dan escrow account dalam skema peer to peer terkait dengan larangan bagi penyelenggara dalam melakukan penghimpunan dana masyarakat melalui rekening penyelenggara.

Diharapkan dengan skema online ini, yakni pengiriman informasi tagihan (collection) dapat secara online, penyediaan informasi status pinjaman kepada para pihak juga secara online, dan penyediaan escrow account dan virtual account di perbankan kepada para pihak sehingga seluruh pelaksanaan pembayaran dana berlangsung dalam sistem perbankan.

Kesepuluh, membuat pusat data di Indonesia. Pasal 25 POJK Peer to Peer Lending ini mewajibkan penyelenggara untuk menggunakan pusat data dan pusat pemulihan bencana. OJK juga mewajibkan agar server ditempatkan di Indonesia. Penyelenggara perlu memenuhi standar minimum sistem teknologi informasi, pengelolaan risiko teknologi informasi, ketahanan terhadap gangguan dan kegagalan sistem, serta alih kelola sistem teknologi informasi.

Kesebelas, menyediakan call center. Pasal 26 POJK Peer to Peer Lending mewajibkan penyelenggara untuk menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data pribadi, data transaksi dan data keuangan yang dikelola sejak data diperoleh hingga data tersebut dimusnahkan. Setidaknya, data tersebut tersedia proses autentifikasi, verifikasi, dan validasi dalam mengakses, memproses, dan mengeksekusi data pribadi, transaksi, dan keuangan yang dikelola.

Penyelenggara, sebagaimana Pasal 26 huruf d POJK ini diminta untuk menyediakan media komunikasi lain selain sistem elektronik peer to peer lending untuk memastikan kelangsungan nasabah yang dapat berupa surat elektronik, call center, atau media komunikasi lainnya. (Baca Juga: Fintech Office Dilincurkan Pekan Depan, Ini Fungsinya)

Keduabelas, sistem terkait audit hukum. Pasal 27 POJK ini mengatur soal rekam jejak audit terhadap setiap kegiatan dalam sistem elektronik layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. OJK meminta penyelenggara untuk memastikan sistem elektronik mereka bisa dipergunakan untuk mendukung penyediaan rekam jejak audit. Hal itu terkait dengan keperluat pengawasan, penegakan hukum, penyelesaian sengketa, verifikasi, pengujian, dan pemeriksaan lainnya.

Ketigabelas, dokumen yang bernilai sebagai alat bukti. OJK mewajibkan penyelenggara untuk menyampaikan informasi terkini (update) mengenai layanan yang diberikan secara akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan. Informasi tersebut, sebagaimana Pasal 30 ayat (2) POJK ini diwajibkan agar dituangkan dalam dokumen atau sarana lain yang dapat digunakan sebagai alat bukti.

Keempatbelas, larangan penggunaan klausula baku. Pasal 36 POJK Peer to Peer Lending mengatur bahwa dalam hal teradapat perjanjian baku, maka perjanjian tersebut dilarang dibuat sepanjang mengatur: menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Penyelenggara kepada Pengguna; dan menyatakan bahwa Pengguna tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh penyelenggara dalam periode pengguna memanfaatkan layanan. (Baca Juga: 7 Isu Perlindungan Konsumen Ini Akan Diatur dalam POJK Fintech)

Kelimabelas, penyelenggara wajib memiliki standar operasional prosedur (SOP). SOP tersebut antara lain terkait penyampaian dan penyelesaian pengaduan yang memuat mekanisme pelaksanaan pelayanan dan penyelesaian pengaduan yang diberitahukan kepada pengguna. Mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan termasuk juga penyelesaian sengketa antara pengguna dan penyelenggara yang terkait dengan pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak yang terjadi setelah pengaduan dari Pengguna diterima.

Mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan dilakukan dengan mengutamakan prinsip “interaktif”, yaitu dalam menyelesaikan pelayanan dan penyelesaian bagi Pengguna secara aktif dan informatif.

Keenambelas, larangan-larangan yang tegas bagi penyelenggara.Dalam menjalankan kegiatan usaha, Penyelenggara dilarang: melakukan kegiatan usaha selain kegiatan usaha Penyelenggara yang diatur dalam peraturan OJK ini; bertindak sebagai Pemberi Pinjaman atau Penerima Pinjaman; memberikan jaminan dalam segala bentuknya atas pemenuhan kewajiban pihak lain; menerbitkan surat utang; memberikan rekomendasi kepada Pengguna; mempublikasikan informasi yang fiktif dan/atau menyesatkan; melakukan penawaran layanan kepada pengguna dan/atau masyarakat melalui sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan Pengguna; dan mengenakan biaya apapun kepada Pengguna atas pengajuan pengaduan.

Terlepas dari hal itu, POJK Peer to Peer Lending ini tegas menyatakan bahwa hanya orang perseorangan (WNI) maupun badan hukum Indonesia yang dapat menjadi penerima pinjaman. Sementara pemberi pinjaman tak hanya berasal dari dalam atau luar negeri. Lebih lengkapnya, yang dapat menjadi pemberi pinjaman antara lain WNI, badan hukum Indonesia, badan hukum asing, WNA, dan lembaga internasional. Mesti dicatat, dalam hal penerima pinjaman menerima pinjaman dari luar negeri, maka penyelenggara tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai utang luar negeri.

Dan untuk diketahui, latar belakang munculnya aturan ini sendiri berawal dari adanya sejumlah problem yang dialami para pihak ketika melakukan pinjam meminjam secara konvensional. Dimana praktik pinjam meminjam yang dahulu dilakukan secara langsung sepenuhnya menjadi tanggung jawab para pihak sesuai kesepakatan yang diperjanjikan. Praktik seperti itu menimbulkan sejumlah kelemahan antara lain subjektifitas terhadap penilaian risiko gagal bayar, kesulitan dalam penagihan pembayaran, hingga tidak adanya sistemasi pencatatan pelunasan pinjaman yang telah dilakukan.

Selain itu, layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi  diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk membantu pelaku usaha skala mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam memperoleh akses pendanaan. OJK merasa dengan terbitnya POJK ini sebatas untuk meminimalisasi risiko kredit dan upaya memberikan perlindungan kepentingan pengguna dari penyalahgunaan dana dan data pengguna, perlindungan kepentingan nasional seperti kegiatan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme, serta ganggunan pada stabilitas sistem keuangan.
Tags:

Berita Terkait