3 Alasan Amandemen Konstitusi Dinilai Belum Urgen
Utama

3 Alasan Amandemen Konstitusi Dinilai Belum Urgen

Karena belum adanya uji publik, pelibatan partisipasi publik secara masiif, hingga masih dalam kondisi pandemi Covid-19. Amandemen seharusnya muncul dari keinginan dan kebutuhan rakyat, bukan kebutuhan sekelompok elit partai politik.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Apakah keinginan mengubah UUD Tahun 1945 berkaitan dengan kebutuhan masyarakat. Indikator ini mudah dibaca bila berasal dari kebutuhan publik. Pertanyaan besarnya, apakah harus diubah setiap ada dinamika politk muncul?”  

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas ini melihat pada Pemilu 2019 tak ada satupun pihak, partai, ataupun calon anggota legislatif yang mengkampanyekan isu perubahan konstitusi. ”Kalau menjawab pertanyaan ini, saya bisa menjawab ini bukan kepentingan/kebutuhan publik, ini kepentingan elit,” tegasnya.

Dia juga menekankan usulan amandemen seharusnya berangkat dari keinginan atau kebutuhan publik/masyarakat, bukan hanya kebutuhan PPHN dari sekelompok elit dengan dalih pondasi keberlanjutan pembangunan. “Yang ada pembanguan dikelola oleh kelompok tertentu. Saya tidak pernah melihat adanya kajian pembangunan berkelanjutan dengan GBHN pada era Orde Lama dan Orde Baru untuk publik,” lanjutnya.

Feri mengingatkan GBHN telah digantikan dengan UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Baginya, UU 25/2004 jauh lebih penting dan cukup mengatur pembangunan berkelanjutan. Hanya saja, praktiknya saja yang harus diawasi secara konsisten. “Menurut saya tidak ada korelasinya dengan PPHN. Kalau ini (PPHN, red) menjadi isu perubahan mendasar tentu akan mendapat kritik publik,” ujarnya. 

Dia mensinyalir gagasan amandemen terbatas memasukan PPHN bakal berdampak menambah kewenangan MPR. Alhasil semua lembaga negara harus menyesuaikan program kerjanya dengan PPHN. Dengan begitu, MPR bakal menjadi lembaga tertinggi negara yang menjadi mandataris rakyat. Lantas bila presiden, lembaga-lembaga negara melanggar PPHN pun menjadi pertanyaan output-nya. Dia khawatir para politisi bakal mengubah mandataris rakyat berada di tangan MPR.

Kemudian MPR bisa menentukan calon presiden dan wakil presiden yang dapat dipilih. Ruang demokrasi bakal menjadi lebih elitis dan ekslusif yang tidak menyentuh kebutuhan dan partisipasi publik.  Sebab, pemilihan melalui MPR bakal jauh bisa dikendalikan permainan uang karena skup MPR jauh lebih kecil dan dapat dikendalikan orang yang memiliki modal besar. “Perubahan UUD dengan dalih PPHN potensi menjadi masalah, tidak hanya kewenangan MPR,” katanya.

Hukumonline.com

Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Feri Amsari.

Pakar Hukum Tata Negara, Refli Harun pun menyangsikan amandemen konstitusi secara terbatas hanya memasukkan PPHN. Sebab, dalam sistem ketatanegaraan saat ini saling melakukan chek and balances. Dia sepakat ketika memasukan PPHN bakal menjadi persoalan. Antara lain penegakan sanksi ketika PPHN tidak dijalankan secara konsisten dan konsekuen.

Tags:

Berita Terkait