3 Alasan Hukum Pembuat Mural Bermuatan Kritik Tidak Dapat Dipidana
Utama

3 Alasan Hukum Pembuat Mural Bermuatan Kritik Tidak Dapat Dipidana

Penghapusan-kriminalisasi mural dinilai bentuk pembungkaman kebebasan berekspresi yang dijamin, dilindungi konstitusi, kovenan Sipol, UU HAM. LBH Jakarta meminta Presiden, Kapolri, Mendagri untuk menghormati kebebasan berekspresi dan berpendapat yang disampaikan masyarakat.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Banyak cara yang bisa dilakukan masyarakat untuk mengawasi jalannya pemerintahan, salah satunya dengan menyampaikan pendapat atau kritik melalui sejumlah medium, antara lain media resmi, media sosial, termasuk melalui mural atau grafiti.

Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, menyesalkan tindakan penghapusan mural/grafiti oleh aparat penegak hukum di beberapa daerah dan bahkan pembuatnya diancam bakal dijerat hukum. Mural/Grafiti yang dihapus dan ramai diberitakan media, seperti bergambar mirip Presiden Jokowi bertuliskan “404: Not Found” dan mural “Tuhan Aku Lapar” di Tangerang; serta mural “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit” di Pasuruan.

Menurut Arif, penghapusan mural/grafiti yang bermuatan kritik itu merupakan bukti nyata kemunduran demokrasi yang ditandai dengan ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat yang terus menyempit. “Ini menunjukkan bahwa pemerintah semakin anti terhadap kritik masyarakat,” kata Arif Maulana ketika dikonfirmasi, Rabu (18/8/2021).

Bagi Arif, mural dan grafiti yang bermuatan kritik terhadap pemerintah merupakan bentuk ekspresi dan aspirasi yang disampaikan lewat seni dan dijamin serta dilindungi konstitusi, kovenan Sipol, UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM, sehingga tidak dapat dibatasi dan dihapus secara serampangan. Penghapusan dan ancaman kriminalisasi terhadap pembuat mural/grafiti adalah tindakan represi dan pembungkaman terhadap ekspresi dan aspirasi masyarakat.

Arif menilai tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk menghapus dan mengkriminalkan mural dan grafiti yang berisi kritik terhadap pemerintah. “Pembatasan kebebasan berekspresi harus didasarkan pada ketentuan undang-undang, untuk melindungi kepentingan publik, keamanan nasional, melindungi hak orang lain serta untuk tujuan yang sah,” ujarnya mengingatkan.

Dia menguraikan sedikitnya ada 3 hal yang membuat aparat kepolisian tidak dapat melakukan proses hukum terhadap orang yang membuat mural dan grafiti bermuatan kritik terhadap pemerintah. Pertama, Presiden merupakan pemimpin dan lembaga negara. Pesan yang disampaikan melalui mural/grafiti itu merupakan bentuk ekspresi dan aspirasi kritis warga terhadap pemangku jabatan Presiden, bukan Presiden sebagai individu.

“Mural dan grafiti itu merupakan bentuk kebebasan berpendapat warga terhadap kinerja Presiden dan pemerintahannya,” paparnya. (Baca Juga: Dekan FH Universitas Brawijaya: Kritik Tidak Boleh Dimaknai Mengganggu Pemerintahan)

Tags:

Berita Terkait