3 Alasan PBHI Menolak Pernyataan Presiden Jokowi Soal Pelanggaran HAM Berat
Terbaru

3 Alasan PBHI Menolak Pernyataan Presiden Jokowi Soal Pelanggaran HAM Berat

Keadilan bagi korban hanya bisa terpenuhi jika ada pengungkapan kebenaran, ajudikasi terhadap pelaku, reformasi institusional, dan pemenuhan hak-hak korban.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Pengadilan  HAM
Ilustrasi Pengadilan HAM

Pengakuan dan penyesalan yang disampaikan Presiden Joko Widodo soal terjadinya pelanggaran HAM berat di berbagai peristiwa seolah memberi harapan terhadap para korban dan keluarga pelanggaran HAM berat. Tapi kalangan masyarakat sipil menilai pendapat itu hanya gimik pemerintah.

Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI, Julius Ibrani, mengatakan lembaganya mencatat ada ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, terutama setelah terbitnya Keppres No.17 Tahun 2022 tentang  Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (Tim PPHAM).  

Setidaknya ada 3 hal yang menjadi alasan. Pertama, tidak transparan dan tidak melibatkan korban secara umum. Kedua, tidak punya dasar hukum dan tidak berbasis mekanisme UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM karena mekanisme “non-yudisial” tidak dikenal dalam konsep HAM. Ketiga, tidak jelas konsep dan metodenya, bahkan tujuannya bertentangan dengan keadilan bagi korban.

“Merujuk pada substansinya, justru sebatas nuansa ‘kerohiman’ melalui santunan fasilitas berbasis anggaran saja,” kata Julius saat dikonfirmasi, Senin (16/1/2023).

Julius menegaskan keadilan bagi korban hanya bisa terpenuhi jika ada pengungkapan kebenaran, ajudikasi terhadap pelaku, reformasi institusional dan pemenuhan hak-hak korban. Hal ini dapat terjawab secara sederhana dengan pertanyaan apa peristiwa yang terjadi, siapa pelakunya, dari institusi apa, kapan akan diadili, kapan akan direformasi.

Pernyataan Presiden Jokowi yang sebatas mengakui dan menyesali menurut Julius tidak menjawab persoalan apapun. Presiden Jokowi justru menjadi bagian dari pelanggengan pelanggaran HAM berat yang secara otomatis akan menyebabkan pengulangan peristiwa dan impunitas terhadap pelaku. Presiden Jokowi menjadi bagian dari pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu dengan tindakan berupa ommission akibat berkuasa namun membiarkan.

“Mahfud MD menyatakan tetap ada proses yudisial di pengadilan HAM juga tidak dapat dipercaya, karena pengadilan HAM berat untuk tragedi Paniai jelas jadi tolok ukurnya: peradilan fiktif untuk cuci dosa pelaku dan institus,” ujar Julius.

Tags:

Berita Terkait