3 Catatan Koalisi Atas Persidangan Kasus Mutilasi 4 Warga di Timika Papua
Terbaru

3 Catatan Koalisi Atas Persidangan Kasus Mutilasi 4 Warga di Timika Papua

Proses hukum para terdakwa dari militer dan sipil diadili secara terpisah menimbulkan persoalan teknis dan tidak sesuai dengan UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Proses persidangan kasus pembunuhan dan mutilasi 4 warga Timika, Papua masih berlangsung. Organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari KontraS, PAHAM, LBH Papua, dan ALDP yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM mengecam proses persidangan itu karena dijalankan secara serampangan.

Wakil Koordinator II KontraS Rivanlee Anandar mengatakan dalam kasus tersebut, sebanyak 10 orang telah ditetapkan sebagai tersangka, 6 diantaranya prajurit tentara aktif dari kesatuan Detasemen Markas (Denma) Brigade Infanteri 20/Ima Jaya Keramo Kostrad.

Rivanlee menyebut Koalisi mencatat 3 hal terkait proses persidangan tersebut. Pertama, proses persidangan tidak akuntabel dan transparan. Proses hukum para terdakwa dari militer dan sipil diadili secara terpisah. Terdakwa militer yakni Kapten (Inf) Dominggus Kainama, Prajurit Satu (Pratu) Rahmat Amin Sese, Pratu Robertus Putra Clinsman, Pratu Rizky Oktav Muliawan, dan Prajurit Kepala Pargo Rumbouw diadili melalui Pengadilan Militer III-19 Jayapura, Papua. Sedangkan, Mayor (Inf) Helmanto Fransiskus Dakhi diadili melalui Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya, Jawa Timur. Sedangkan para tersangka sipil berkas perkaranya masih belum dilimpahkan ke pengadilan umum.

Rivanlee menilai terpisahnya upaya menuntut pertanggungjawaban pidana, tidak hanya bermasalah secara teknis, tapi juga tidak bersesuaian dengan ketentuan yang diatur dalam UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Secara teknis, terpisahnya proses peradilan sangat tidak efisien secara waktu dan biaya khususnya bagi keluarga yang diperiksa sebagai saksi.

Keluarga korban berdomisili di Timika, ketika diperiksa sebagai saksi dalam perkara para terdakwa militer membuat keluarga harus terbang ke Pengadilan Militer III-19 Jayapura menggunakan transportasi udara yang biayanya tidak murah. “Proses peradilan tersebut sejatinya telah menjauhkan aksesibilitas keluarga korban yang berdomisili di Timika terhadap proses peradilan,” kata Rivanlee saat dikonfirmasi, Rabu (18/1/2023).

Mengacu Pasal 16 UU No.48 Tahun 2009, seharusnya tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama yang termasuk lingkungan peradilan umum dan peradilan militer, diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan umum. Apalagi pihak yang paling dirugikan dalam perkara ini adalah kalangan sipil. Sehingga tidak ada lasan persidangan dilakukan terpisah, tapi harus dilakukan di peradilan umum. Hal itu diperparah oleh absennya kepastian informasi yang diterima Koalisi terkait pelaksanaan sidang di peradilan militer.

Kedua, pelaku yang berlatar belakang pangkat Mayor didakwa secara tidak cermat oleh orditurat. Secara umum, Rivanlee melihat susunan dan struktur dakwaan sangat problematis karena menaruh Pasal 480 ke-2 KUHP tentang penadahan dengan hukuman maksimal 4 tahun penjara sebagai dakwaan primer. Padahal dalam hukum pidana, bentuk surat dakwaan subsidair yang ideal adalah dakwaan yang terdiri dari dua atau beberapa dakwaan yang disusun dan dijejerkan secara berurutan, mulai dari dakwaan tindak pidana ‘yang terberat’ sampai kepada dakwaan tindak pidana ‘yang teringan’.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait