3 Catatan YLBHI Soal Penolakan Pembangunan Gereja di Cilegon
Terbaru

3 Catatan YLBHI Soal Penolakan Pembangunan Gereja di Cilegon

YLBHI mencatat Pemerintah Kota Cilegon telah menolak 4 kali pengajuan izin Gereja HKBP Maranatha sejak tahun 2006 dan 5 kali menolak pengajuan izin Gereja Baptis Indonesia Cilegon sejak 1995.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Viralnya video Walikota Cilegon Jelldy Agustian dan Wakil Walikota Sanuji Pentamarta yang menandatangani penolakan pendirian gereja Maranatha di Cilegon sebagaimana beredar di media sosial mendapat sorotan tajam kalangan masyarakat sipil. Ketua YLBHI, Muhamad Isnur, mengecam keras tindakan tersebut karena diskriminatif, melanggar HAM, dan mengkhianati konstitusi.

Isnur mencatat tindakan diskriminatif itu bukan kali pertama dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Cilegon. Sebelumnya Pemkot Cilegon menolak 4 kali pengajuan izin gereja HKBP Maranatha sejak tahun 2006 dan 5 kali menolak pengajuan izin Gereja Baptis Indonesia Cilegon sejak tahun 1995.

“Tindakan tersebut jelas-jelas bertentangan dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik yakni persamaan perlakuan/tidak diskriminatif sebagaimana diatur dalam Pasal 344 Ayat (2) point (g) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,” kata Isnur ketika dikonfirmasi, Sabtu (10/9/2022).

Sikap pemkot Cilegon itu menurut Isnur bertentangan dengan prinsip pemenuhan, perlindungan dan penghormatan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana diatur Pasal 29 ayat (2) UUD NKRI yang tegas menyatakan “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Begitu juga Pasal 22 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

“Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU No.39 Tahun 1999 menyebut setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan kepercayaannya itu,” ujar Isnur menjelaskan isi pasal itu.

Menurutnya, kerangka hukum itu menjamin kebebasan berkeyakinan dan beragama. Tidak seorangpun dibenarkan mendapatkan tindakan intoleran dari pejabat negara. Tapi mandat konstitusi itu tidak dilaksanakan secara serius oleh pemerintah pusat dan daerah. Bahkan, di era Presiden Joko Widodo tercatat toleransi menjadi salah satu agenda kebhinekaan, tapi praktiknya mengalami kegagalan.

“Kampanye kebhinekaan tanpa diiringi dengan komitmen kuat untuk memfasilitasi dan melindungi kelompok minoritas hanya akan menjadi Gimmick Politik,” ujar Isnur.

Tags:

Berita Terkait