3 Indikasi Penyempitan Ruang Kebebasan Sipil di Indonesia
Utama

3 Indikasi Penyempitan Ruang Kebebasan Sipil di Indonesia

Meliputi pelemahan pers melalui konglomerasi media dan represi terhadap jurnalis; direnggutnya kebebasan digital yang merupakan bagian dari HAM; dan tergerusnya kebebasan akademik di kampus.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Penanganan demonstrasi menolak UU Cipta Kerja yang dinilai sarat pelanggaran hukum dan HAM, Kamis (8/10/2020) lalu. Foto: RES
Penanganan demonstrasi menolak UU Cipta Kerja yang dinilai sarat pelanggaran hukum dan HAM, Kamis (8/10/2020) lalu. Foto: RES

Banyak kalangan yang menilai saat ini Indonesia mengalami penyempitan ruang publik dan kemunduran demokrasi. Direktur LP3ES, Wijayanto, menyebut istilah yang digunakan sebagian pakar, bahkan bukan sekedar kemunduran demokrasi, tapi sudah mengarah pada otoritarianisme. Hal tersebut mulai dirasakan sejak 2015 dan berlanjut sampai saat ini. Konsolidasi elit semakin kuat, dapat dilihat dari beberapa UU yang diterbitkan dalam waktu yang cepat, seperti revisi UU KPK, UU Cipta Kerja.

Wijayanto juga menyayangkan komunikasi publik yang dilakukan pemerintah terutama dalam menghadapi krisis di masa pandemi Covid-19. Pemerintah bersikap seolah pandemi Covid-19 tidak akan sampai ke Indonesia. Oleh karena itu, narasi yang berkembang menekankan pada kepentingan ekonomi dan peningkatan sektor pariwisata. Padahal yang perlu dilakukan pemerintah itu menyampaikan kepada masyarakat bahwa kemungkinan akan menghadapi krisis.

“Seolah nyawa warga tidak menjadi panglima (hal utama, red), tapi kepentingan ekonomi elit yang diutamakan,” kata Wijayanto dalam diskusi secara daring bertema “Kewargaan, Inklusi, dan Keadilan: Dinamika Advokasi bagi Kelompok Rentan,” Senin (23/8/2021). (Baca Juga: 3 Alasan Hukum Pembuat Mural Bermuatan Kritik Tidak Dapat Dipidana)

Dia juga menyoroti berbagai kebijakan lain yang diterbitkan pemerintah dan DPR, seperti pembahasan UU Cipta Kerja dan Pilkada langsung yang dipaksakan untuk digelar di tengah pandemi Covid-19. Parahnya, ada upaya untuk memanipulasi opini publik terutama di media sosial (buzzer, red) untuk mendukung beragam kebijakan yang dinilai bermasalah itu.

“Secara prosedural Indonesia menjalankan demokrasi, tapi kebijakan politik yang dikeluarkan mengabaikan partisipasi publik,” bebernya.

Menurut, kemunduran demokrasi di Indonesia dapat dilihat dari beragam kajian seperti Economist Intelligence Unit yang menilai kebebasan sipil di Indonesia tahun 2019 hanya 5,59, kalah dari Singapura 7,06. Tahun 2020 juga tak berubah signifikan dimana Indonesia skorsnya 5,99. Hasil survey LP3ES juga menunjukkan leih dari setengah koresponden yang merasa takut untuk menyatakan pendapat.  

Dia melihat salah satu masalah yang menyebabkan kemunduran demokrasi, khususnya terkait kebebasan sipil mengalami pemberangusan yang sifatnya struktural. Kebebasan sipil perlu keseimbangan antara peran negara dan masyarakat sipil. Negara tidak boleh lebih kuat dari masyarakat sipil karena menjadi leviathan atau monster yang akan memberangus hak-hak warga. Jika masyarkat sipil yang lebih kuat dari negara, hasilnya akan terjadi kekacauan.

Tapi yang berkembang setelah reformasi Wijayanto menilai kalangan oligarki yang sudah terbentuk sejak masa orde baru semakin cepat mengorganisasi diri. “Mereka (oligarki) semakin kuat dan terkonsolidasi untuk mengamankan kepentingan mereka sendiri, dan masyarakat sipil semakin lemah,” lanjutnya.

Menurutnya, sedikitnya ada 3 indikasi yang menunjukkan terjadinya penyempitan ruang kebebasan sipil di Indonesia. Pertama, pers mengalami pelemahan karena konglomerasi media, budaya jurnalisme warisan masa lalu yang tidak berkualitas dan represi terhadap jurnalis. Kedua, kebebasan secara daring dan digital semakin dibatasi, padahal itu adalah bagian dari HAM. Ketiga, kebebasan akademik di kampus semakin buruk, misalnya pada saat ramai penolakan revisi UU KPK, rektor menginstruksikan mahasiswa dan dosen untuk tidak melakukan demonstrasi.

Dosen di Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM), Samsul Maarif, menegaskan masyarakat sipil merupakan salah satu pilar demokrasi. Masyarakat sipil punya peran penting untuk menghadapi menyempitnya kebebasan sipil. “Masyarakat sipil perlu membangun jaringan secara lintas sektoral,” sarannya.

Pola otoritarianisme

Ketua YLBHI, Asfinawati, melihat berbagai hal yang menunjukkan kemunduran demokrasi di Indonesia, antara lain pembajakan konsep HAM dalam hate speech yang tadinya instrumen pelindung korban menjadi alat kriminalisasi. Pemerintahan Jokowi membuat demonstrasi kembali menjadi hal yang terlarang. Penghalang-halangan terhadap bantuan hukum, tercatat periode 2015-2021 ada 23 orang yang ditangkap dan dikriminalisasi karena melakukan bantuan hukum.

Asfin juga mencatat ada pelanggaran kebebasan berpendapat di kampus seperti ada 3 kampus yang dihubungi BIN terkait diskusi yang diselenggarakan mahasiswa di kampus. Ada juga peretasan terhadap akademisi di tahun 2019, peretasan media sosial lembaga mahasiswa, aktivis mahasiswa tahun 2020, dan peretasan telepon genggam aktivis pada tahun 2021.

Mantan direktur LBH Jakarta itu juga mencatat pemerintah membeli teknologi dari Israel yang dapat mendeteksi lokasi melalui nomor ponsel. Ada 8 FinFisher di 3 internet service provider di Indonesia.

Selain itu Asfin mengatakan sedikitnya ada 3 pola kebijakan otoritarianisme. Pertama, menghambat kebebasan sipil seperti berpikir, berkumpul, berpendapat, berekspresi, dan berkeyakinan. Kedua, mengabaikan hukum yang berlaku baik itu konstitusi, TAP MPR, atau UU. Ketiga, memiliki watak yang represif, mengedepankan pendekatan keamanan dan melihat kritik sebagai ancaman.

“Kami melihat ada gelagat kembali ke otoritarianisme di Indonesia sejak tahun 2015,” katanya.

Tags:

Berita Terkait