3 Indikator ‘Autocratic Legalism’ dalam Kebijakan Negara
Utama

3 Indikator ‘Autocratic Legalism’ dalam Kebijakan Negara

Tujuannya untuk memperbesar kekuasaan modal dan kekuasaan politik untuk kelompoknya. Autocratic legalisme ini dianggap lebih berbahaya daripada otoritarianisme seperti masa orde baru karena yang terjadi saat ini dianggap baik-baik saja.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Tujuan akhir autocratic legalism, menurut Bivitri untuk memperbesar kekuasaan modal dan politik bagi kelompoknya. Berbagai peraturan dan kebijakan yang diterbitkan, seperti UU Cipta Kerja, dan UU Minerba, serta beragam aturan yang akan diterbitkan nanti dibuat setelah ada pelemahan pada fungsi pengawasan. Dalam konteks sistem politik di Indonesia, pengambil keuntungan tidak hanya kekuasaan eksekutif (pemerintah), tapi juga banyak aktor politik lain dalam berbagai cabang kekuasaan oligarki.

Bivitri berpendapat autocratic legalisme lebih berbahaya daripada otoritarianisme seperti masa orde baru karena yang terjadi saat ini dianggap baik-baik saja. Hukum tidak ditempatkan sebagai perangkat nilai (HAM dan pembatasan kekuasaan, prinsip negara hukum) sebagai kerangka bernegara, tapi sebagai justifikasi kebijakan yang dibuat untuk kepentingan kelompoknya.

Terus berkonsolidasi

Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Prof Azyumardi Azra, menilai pelemahan KPK menjadi salah satu warisan negatif pemerintahan Jokowi. Begitu juga dengan menyurutnya kebebasan berserikat, berkumpul, dan berekspresi. Dia mengusulkan kepada organisasi masyarakat sipil untuk terus berkonsolidasi dan menggalang kekuatan.

“Masih ada waktu menjelang Pemilu 2024 untuk membenahi persoalan ini lewat pemilu. Karena tidak mungkin menggunakan cara inkonstitusional, yang harus ditempuh yakni proses konstitusional, salah satunya melalui pemilu,” kata dia.

Hukumonline.com

Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Prof Azyumardi Azra.

Kendati konsolidasi organisasi masyarakat sipil merupakan peluang, tapi Azyumardi mengakui ini tidak mudah karena sebagian kekuatan masyarakat sipil ada yang lumpuh, seperti perguruan tinggi yang saat ini dibelenggu birokratisasi. Hal tersebut dapat dilihat dari minimnya suara kritis dari kampus.

“Saya tidak pesimis terhadap masa depan demokrasi, tapi kita perlu konsolidasi dan penyadaran untuk memperbaiki demokrasi,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait