3 Pelajaran Penting Kasus Akidi Tio dalam Konteks Keuangan Publik
Utama

3 Pelajaran Penting Kasus Akidi Tio dalam Konteks Keuangan Publik

Pemerintah bisa menerima hibah dari masyarakat, tapi semua penerimaan dan pengeluaran harus menggunakan mekanisme APBN/APBD.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Pasal 34 ayat (1) UU Keuangan Negara menyebutkan “Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.”

Menurutnya, penerimaan dan pengeluaran negara dilarang tergesa-gesa, harus prosedural, dan memenuhi kepatutan. Paling utama, penerimaan kepada negara adalah milik negara, berdasarkan inisiatif negara, bukan milik atau inisiatif, atau menjadi prestasi seseorang. “Karena harus didasarkan pada sistem dan mekanisme APBN, semuanya menjadi prestasi kinerja negara,” katanya.

Akademisi FH Binus University, Vidya Prahassacita, melihat kasus ini dikaitkan dengan Pasal 14 dan Pasal 15 UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Kedua pasal tersebut dikenal juga sebagai ketentuan yang mengatur tentang “penyebaran berita bohong.” Tapi dalam kedua pasal itu memuat unsur menimbulkan keonaran di masyarakat atau menimbulkan kerusuhan.

Meskipun Pasal 14 dan Pasal 15 UU No.1 Tahun 1946 itu dinilai tidak dapat digunakan/diterapkan dalam kasus Akidi Tio, tapi Vidya menilai aturan ini rawan disalahgunakan penguasa. “Pasal ini sejak awal (masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, red) digunakan sebagai alat penguasa untuk membungkam kebebasan berekspresi di wilayah jajahannya. Ketentuan tersebut juga rawan multi interpretasi yang arahnya melanggar kebebasan berekspresi.”

Seperti diketahui, rencana sumbangan dana hibah senilai Rp 2 Triliun dari anak pengusaha Akidi Tio (Alm) menjadi perbincangan. Terutama setelah penyidik Polda Sumatera Selatan meminta keterangan lima orang yakni anak Akidi Tio, Heryanti; dokter pribadi keluarga dr. Hardi Darmawan; dan kerabat yang mengetahui perkara ini, Senin-Selasa (2-3/8/2021) lalu. Sebab, ramai diberitakan sumbangan sebesar Rp2 triliun untuk penanganan Covid-19 di Sumatera Selatan berupa bilyet giro telah jatuh tempo, gagal cair atau tidak bisa dicairkan secara penuh.  

Sebelumnya, Heryanti telah melakukan seremonial secara simbolis serah terima sumbangan hibah itu bersama Kapolda Sumsel Irjen Eko Indra Heri disaksikan Gubernur Sumatera Selatan, dan pejabat daerah lain pada 26 Juli 2021 lalu. Kemudian, Heryanti sempat diberitakan potensi ditetapkan sebagai tersangka dan bisa dijerat Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Tapi kemudian, pihak kepolisian menegaskan belum menetapkan siapapun menjadi tersangka dalam kasus ini. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) turut melakukan pemeriksaan, khususnya terhadap kejelasan bilyet giro yang dimaksud. Nantinya, laporan hasil analisis terkait donasi Rp2 triliun dari keluarga Akidi Tio ini diserahkan kepada Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dan Kapolda Sumatera Selatan. 

Tags:

Berita Terkait