3 Pintu Hukum Ini Buka Celah Pengerukan SDA
Terbaru

3 Pintu Hukum Ini Buka Celah Pengerukan SDA

Seperti melalui peraturan perundang-undangan di berbagai level, izin yang diterbitkan atas nama dan berdasarkan hukum, serta kebijakan umum.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Dosen Hukum Tata Negara STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti. Foto: RES
Dosen Hukum Tata Negara STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti. Foto: RES

Eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam (SDA) secara masif akan mempercepat habisnya kekayaan alam di bumi nusantara. Praktik pengerukan kekayaan alam bawah tanah Indonesia seakan tak ada hentinya diekploitasi. Padahal ketersediaan SDA  yang tersimpan di bawah dan di atas tanah ada batasnya.

Dosen Hukum Tata Negara (HTN) Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mengatakan, ada sebuah negara kecil  yang kaya penghasil fosfat. Ironisnya, para elit politik dan kalangan oligarki mengeruk habis komoditas SDA tersebut. Mereka menikmati hasil kekayaan dari eksploitasi fosfat, sementara rakyat Nauru menjadi miskin karena SDA andalannya habis.

Bivitri mengingatkan, boleh jadi Indonesia bernasib seperti Nauru karena mengelola SDA secara serakah dan serampangan. Eksploitasi terhadap SDA adalah bisnis yang tidak sulit, karena yang dibutuhkan hanya mengambilnya tanpa perlu banyak berinvestasi di berbagai hal seperti teknologi canggih, inovasi, riset, dan lainnya. Tetapi, bisa langsung dijual.

“Dan itu yang terjadi di Indonesia,” katanya dalam diskusi bertema ‘Oligarki, Sumber Daya Alam, Dan Ancamannya Terhadap Pemilu 2024’, Kamis (02/02/2023).

Baca juga:

Menurut Bivitri, cara paling mudah mengeruk SDA melalui mekanisme hukum. Dia mencatat, setidaknya ada 3 pintu hukum yang membuka celah eksploitasi besar-besaran terhadap SDA. Pertama, peraturan perundang-undangan dari berbagai level, mulai dari UU sampai peraturan daerah. Kedua, izin yang diterbitkan atas nama dan berdasarkan hukum.

Ketiga, kebijakan umum, misalnya kebijakan sawit yang menyebabkan masyarakat sulit mendapatkan minyak goreng. Begitu juga kebijakan terhadap komoditas lainnya yang secara resmi diterbitkan pemerintah melalui produk hukum. “Seolah produk hukum yang diterbitkan pemerintah itu baik-baik saja. Padahal kebijakan yang dikeluarkan itu tidak selalu bijak,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait