3 Rekomendasi Komnas HAM Kepada Presiden Joko Widodo
Berita

3 Rekomendasi Komnas HAM Kepada Presiden Joko Widodo

​​​​​​​Salah satunya merekomendasikan Presiden untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
3 Rekomendasi Komnas HAM Kepada Presiden Joko Widodo
Hukumonline

Dalam rangka memperingati hari HAM internasional ke-70, Komnas HAM menyampaikan sedikitnya 3 rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo. Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, mengatakan lembaganya terus berupaya mendorong terciptanya kondisi HAM yang lebih kondusif. Selaras itu Komnas HAM telah menetapkan 3 tema strategis yang menjadi prioritas yakni penyelesaian pelanggaran HAM berat, pelaksanaan reforma agraria, dan penanganan intoleransi, radikalisme, serta ekstrimisme dengan kekerasan.

 

Taufan mengatakan, situasi yang dihadapi dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat tergolong sulit, tak hanya mandek tapi malah mengalami kemunduran. Saat ini Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan pro yustisia terhadap 9 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yakni Kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II.

 

Kasus lainnya, Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998; Wasior dan Wamena; Talangsari Lampung; Penembakan Misterius (Petrus); Peristiwa Pembantaian Massal 1965; Peristiwa Jambu Keupok Aceh; dan Simpang KKA Aceh dan Rumah Geudong di Aceh yang terjadi pada masa Daerah Operasi Militer (DOM) 1989-1998.

 

“Sesuai kewenangan yang dimiliki dalam UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat pada kasus-kasus tersebut. Akan tetapi, sampai hari ini hasil penyelidikan Komnas HAM itu belum ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung,” kata Taufan dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa (11/12).

 

Selain itu Taufan menandaskan pelaksanaan reforma agraria untuk mewujudkan amanat konstitusi juga tergolong rumit karena belum mampu mengatasi ketimpangan struktur dan penguasaan sumber daya agraria. Kondisi ini masih diperparah dengan polemik kerusakan lingkungan hidup; penyelesaian konflik agraria yang belum efektif; dan belum adanya mekanisme kelembagaan penyelesaian konflik agraria yang sifatnya lintas sektor dan eksekutorial.

 

Soal intoleransi, radikalisme, dan ekstrimisme dengan cara kekerasan menurut Taufan situasinya semakin mengkhawatirkan. Hasil survei sejumlah lembaga penelitian independen menunjukan intoleransi, diskriminasi, dan sentimen konservatisme agama di masyarakat makin kuat. Ini patut menjadi perhatian karena tindakan intoleran dalam skala yang lebih luas dan massif dapat menimbulkan terjadinya goncangan sosial, konflik, dan kekerasan. Gejala ini pun diyakini akan terus meningkat seiring dengan momentum Pemilu tahun 2019.

 

Baca:

 

Guna mengatasi persoalan itu Komnas HAM merekomendaskan sedikitnya 3 hal. Pertama, merekomendasikan Presiden Joko Widodo untuk menempatkan UU No.5 Tahun 1960 tentang Pembaruan Agraria dan TAP MPR No.IX/MPRRI/2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam menjadi dasar pelaksanaan reforma agraria. Seluruh ketentuan yang tercantum dalam kedua regulasi itu harus dipatuhi.

 

Menurut Taufan pelaksanaan reforma agraria harus dilakukan secara komprehensif, dimana di dalam mekanisme pelaksanaannya mencakup aspek perlindungan hak, menyejahterakan masyarakat, menjamin keadilan agraria, memiliki kewenangan dalam mengkoordinasikan dan menginstruksikan lembaga-lembaga negara/instansi pusat dan daerah untuk melaksanakan reforma agraria. Pelaksanaan reforma agraria itu tentunya harus menghormati supermasi hukum dan HAM serta melibatkan masyarakat sipil serta kelembagaan yang langsung di bawah kendali Presiden RI.

 

Kedua, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Komnas HAM merekomendasikan Presiden segera memastikan Jaksa Agung menggunakan kewenangannya untuk melakukan penyidikan terhadap hasil penyelidikan yang telah dituntaskan Komnas HAM. Upaya yudisial lain yang dapat dilakukan oleh Presiden adalah menggunakan ketentuan Pasal 47 UU No.26 Tahun 2000 tentang penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dibentuk berdasarkan UU.

 

Komnas HAM berpendapat meskipun MK telah menyatakan bahwa UU No.27 Tahun 2004 tentang KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, bukan berarti penyelesaian melalui KKR tidak dimungkinkan lagi. Mengingat mendesaknya penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu dan ketiadaan payung hukum, Presiden dapat mengeluarkan Perppu mengenai KKR.

 

Ketiga, terkait penanganan intoleransi. Komnas HAM merekomendasikan Presiden memastikan bekerjanya berbagai instrumen hukum dan kebijakan yang ada seperti melakukan sinkronisasi, revisi dan pembaruan hukum yang mendorong situasi toleransi dapat berkembang secara kondusif. Aparat penegak hukum perlu secara tegas dan tepat melakukan tindakan hukum untuk merespon berbagai tindakan kejahatan kebencian, diskriminasi terhadap kelompok minoritas dan tindakan-tindakan intoleransi lain.

 

“Negara harus memastikan akses bagi masyarakat yang menjadi korban berbagai tindakan intoleransi,” urai Taufan.

 

Kepala Bidang Biro Kampanye dan Jaringan KontraS, Feri Kusuma, menekankan peran pemerintah sangat penting untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM atas berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Upaya itu perlu dilakukan untuk menimbulkan kepercayaan para korban dan keluarganya kepada pemerintah.

 

Feri mengusulkan agar dibentuk tim bersama Komnas HAM dan Kejaksaan Agung untuk menyelesaikan persoalan bolak-balik berkas antara kedua lembaga itu. Selama ini Kejaksaan menganggap berkas penyelidikan Komnas HAM kurang bukti, sebaliknya Komnas HAM mengklaim sudah melengkapinya sesuai kewenangan.

 

Menurut Feri ketika berkas penyelidikan Komnas HAM itu ditindaklanjuti Kejaksaan Agung dalam bentuk penyidikan, maka Kejaksaan akan menentukan apakah kasus pelanggaran HAM berat yang ditangani itu bisa dilanjutkan atau tidak ke tahap penuntutan. “Paling penting yakni proses penyidikan oleh Kejaksaan harus dilakukan. Rekomendasi Komnas HAM mengenai proses yudisial dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat ini sudah tepat,” katanya di Jakarta, Kamis (13/12).

 

Begitu pula rekomendasi Komnas HAM terkait Perppu KKR, Feri menegaskan KKR ini melengkapi langkah yudisial dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Kedua mekanisme ini bisa dilakukan secara bersama dan melengkapi, bukan saling meniadakan.

 

Feri menyebut setidaknya ada 3 alasan mendesak bagi Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan Perppu KKR. Pertama, selama ini terjadi kekosongan hukum karena UU KKR sudah dibatalkan MK sejak 2006. Kedua, proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat sampai sekarang mandek. Ketiga, ada kebutuhan untuk menyelesaikan perkara ini, dan telah tertuang dalam Nawacita. “Perppu KKR dapat menjawab kekosongan hukum dan kemelut dalam proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait