3 Rekomendasi Komnas Perempuan untuk Perlindungan Buruh Migran
Terbaru

3 Rekomendasi Komnas Perempuan untuk Perlindungan Buruh Migran

Perangkat pengawasan penyelenggaraan penempatan dan pelindungan pekerja migran Indonesia sangat dibutuhkan untuk meminimalisasi terjadinya pelanggaran, termasuk memastikan Kementerian/Lembaga dan institusi terkait melaksanakan tugas pelindungan di seluruh tahapan migrasi.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Perempuan yang bekerja ke luar negeri sebagai pekerja/buruh migran Indonesia jumlahnya terus meningkat. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mencatat tahun 2014 jumlah perempuan yang menjadi pekerja migran Indonesia 57 persen dan tahun 2019 meningkat jadi 70 persen. Padahal di waktu yang sama jumlah pekerja migran secara global mengalami penurunan.

Perempuan pekerja migran Indonesia yang bekerja di sektor pekerja rumah tangga meningkat dari 42 persen tahun 2014 menjadi 51 persen tahun 2019. Pandemi Covid-19 tak menyurutkan langkah perempuan untuk bekerja ke luar negeri karena jumlahnya meningkat sampai 88 persen tahun 2021 dan di sektor informal meningkat 77 persen.

Sayangnya, peningkatan jumlah perempuan pekerja migran itu tak seiring peningkatan perlindungan karena berbagai kasus kekerasan berbasis gender dan diskriminasi terus berulang. Sekalipun telah terbit UU No.18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, kekerasan itu masih terjadi. “Catatan Tahunan Komnas Perempuan mencatat sebanyak 813 kasus kekerasan terhadap perempuan PMI sepanjang 2016-2022,” kata Andy saat dikonfirmasi, Selasa (20/12/2022).

Pola kekerasan berbasis gender dan diskriminasi yang terjadi berupa kekerasan fisik, psikis, dan seksual (termasuk pelecehan seksual, perkosaan, pemaksaan pelacuran), perdagangan orang (TPPO), jeratan hutang, ancaman dan pemerasan, pelanggaran hak atas informasi, manipulasi dokumen, dan perampasan dokumen, semuanya terjadi sejak proses perekrutan sampai pemulangan. Bahkan terjadi pelanggaran hak maternitas seperti larangan hamil dengan pemaksaan kontrasepsi.

Andy menegaskan berabgai aturan mengatur penggunaan kontrasepsi harus disertai persetujuan dari orang yang akan menggunakannya. Ketentuan itu antara lain diatur dalam UU No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, UU No.52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, dan PP No.61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

Selain itu Andy mengingatkan Pasal 8 UU No.12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) memuat ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp50 juta bagi setiap orang yang memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi sehingga membuat kehilangan fungsi reproduksi untuk sementara waktu. Begitu juga pasal 9 yang menegaskan pemaksaan menggunakan alat kontrasepsi sehingga membuat kehilangan fungsi reproduksinya secara tetap dipidana dengan penjara paling lama 9 tahun dan/atau denda paling banyak Rp200 juta.

Tak ketinggalan Andy menyebut UU No.18 Tahun 2017 menyebut dalam pelaksanaan pelindungan pekerja migran Indonesia dibutuhkan pengawasan dan penegakan hukum yang tegas meliputi sanksi administratif dan sanksi pidana. Pengawasan juga menyasar kualitas layanan dan dimensi pemenuhan HAM (baik sebagai warga negara, sebagai pekerja migran, sebagai perempuan dalam hal pekerja migran adalah perempuan).

Tags:

Berita Terkait