3 Saran Ombudsman ke Presiden Soal Polemik Rangkap Jabatan Komisaris BUMN
Berita

3 Saran Ombudsman ke Presiden Soal Polemik Rangkap Jabatan Komisaris BUMN

Kementerian BUMN diminta melakukan evaluasi atas temuan masih adanya komisaris BUMN yang rangkap jabatan untuk menghindari potensi adanya konflik kepentingan.

Oleh:
M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Gedung Kementerian BUMN. Foto: RES
Gedung Kementerian BUMN. Foto: RES

Ombudsman RI memberikan tiga saran kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait polemik rangkap jabatan dan rangkap penghasilan Komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini disampaikan Anggota Ombudsman, Alamsyah Saragih, dalam keterangan pers yang dikutip Hukumonline, Jumat (7/8).

Alamsyah mengatakan saran perbaikan tersebut merupakan hasil assesmen dan pemantauan Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas sebagai pengawas BUMN dan BLU yang dilakukan sejak tahun 2017. Selanjutnya pada 2020, Ombudsman RI telah melakukan inisiatif pemeriksaan dengan memanggil Kementerian BUMN, Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan BPKP. Selain itu, Ombudsman berkonsultasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan melakukan pembahasan bersama KPK.

“Dari permintaan keterangan diperoleh temuan sementara bahwa sampai dengan tahun 2019 ada 397 Komisaris pada BUMN dan 167 Komisaris pada anak perusahaan BUMN terindikasi rangkap jabatan dan rangkap penghasilan,” katanya. 

Ada pun tiga saran yang diberikan Ombudsman adalah; Pertama, Presiden disarankan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk memperjelas batasan dan kriteria dalam penempatan pejabat struktural dan fungsional aktif sebagai Komisaris BUMN serta pengaturan sistem penghasilan tunggal bagi perangkap jabatan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Kedua, Presiden memerintahkan Menteri BUMN untuk melakukan perbaikan terhadap Peraturan Menteri BUMN yang sekurang-kurangnya mengatur secara lebih jelas mengenai penetapan kriteria Calon Komisaris, Sumber Bakal Calon, Tata Cara Penilaian dan Penetapan, Mekanisme serta Hak dan Kewajiban Komisaris di BUMN dan akuntabilitas kinerja para komisaris BUMN.

Ketiga, Presiden melakukan evaluasi cepat dan memberhentikan para Komisaris Rangkap Jabatan yang terbukti diangkat dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Baca Juga: Menyoal Rangkap Jabatan Komisaris BUMN)

Alamsyah menjelaskan, berdasarkan analisis Ombudsman bersama KPK terhadap data 2019, dilakukan profiling terhadap 281 komisaris yang masih aktif di instansi asal. Berdasarkan jabatan, rekam jejak karier dan pendidikan ditemukan sebanyak 91 komisaris (32%) berpotensi konflik kepentingan dan 138 komisaris (49%) tidak sesuai kompetensi teknis dengan BUMN dimana mereka ditempatkan.

Ombudsman menyimpulkan bahwa terjadi sejumlah potensi maladministrasi rangkap jabatan pada komisaris BUMN disebabkan adanya benturan regulasi akibat batasan yang tidak tegas sehingga menyebabkan penafsiran yang berbeda dan cenderung meluas, serta adanya pelanggaran terhadap regulasi yang secara eksplisit telah mengatur pelarangan rangkap jabatan.

Di samping itu, Alamsyah mengatakan bahwa dalam rangkap jabatan telah menyebabkan rangkap penghasilan dengan nomenklatur honor dan gaji. Hal ini menyebabkan penerapan prinsip imbalan berdasarkan "beban tambahan (incremental)" menjadi tidak akuntabel dan menimbulkan ketidakadillan. (Baca: BPK Bantah Ada Pejabat Aktif Rangkap Jabatan di BUMN)

Ombudsman juga menyoroti proses rekrutmen BUMN berdasarkan Peraturan Menteri BUMN Nomor 2 Tahun 2015 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN masih terdapat kelemahan seperti, potensi konflik kepentingan dalam penjaringan, potensi ketidakadilan proses dalam penilai persyaratan materiil sehingga mempengaruhi Akuntabilitas Kinerja Komisaris BUMN.

Sementara itu, terhadap perkembangan dan pelaksanaan saran perbaikan tersebut, Alamsyah mengatakan Ombudsman RI akan melakukan pemantauan perkembangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. "Ombudsman juga akan melanjutkan reviu administratif terhadap proses rekrutmen Komisaris yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Kementerian BUMN," Alamsyah menegaskan.

Perlu Dievaluasi

Sementara, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo meminta Kementerian BUMN melakukan evaluasi atas temuan masih adanya komisaris BUMN yang rangkap jabatan. "Kementerian BUMN untuk melakukan evaluasi cepat dan memberhentikan para komisaris rangkap jabatan yang terbukti diangkat dengan cara yang secara eksplisit bertentangan dengan hukum yang berlaku," kata Bamsoet, dalam pernyataan kepada Antara, Rabu (5/8).

Bamsoet mengingatkan potensi adanya konflik kepentingan dengan posisi rangkap jabatan yang diemban komisaris BUMN tersebut. Oleh karena itu, dia mendukung Presiden mengeluarkan aturan yang memperjelas batasan dan kriteria dalam penempatan pejabat struktural dan fungsional aktif sebagai komisaris BUMN dalam satu pandangan yang koheren.

"Mendukung Presiden meminta Menteri BUMN untuk memperbaiki peraturan di Kementerian BUMN terkait dengan jabatan komisaris," ujarnya.

Menurut Bamsoet, Presiden perlu meminta Menteri BUMN untuk memperbaiki peraturan di Kementerian BUMN terkait dengan jabatan komisaris agar poin-poinnya mengenai komisaris diatur secara lebih jelas di dalam peraturan tersebut. Poin-poin yang dimaksud, yakni mengenai penetapan kriteria calon komisaris, sumber bakal calon, tata cara penilaian dan penetapan, mekanisme serta hak dan kewajiban komisaris di BUMN, serta akuntabilitas kinerja para komisaris BUMN sampai tata cara publikasinya.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Muhammad Faiz Aziz, sebelumnya berpendapat bahwa rangkap jabatan di BUMN memang tidak diizinkan. Hal itu jelas diatur dalam Pasal 17 huruf A UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang menyatakan, “Pelaksana dilarang: merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah”.

“Pasal 17 huruf a itu jelas pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap jabatan. Larangannya sukup streak, dan ini absolut,” katanya kepada Hukumonline.

Namun, Aziz menjelaskan jika rangkap jabatan memang tidak diatur dalam UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) karena mengatur PT secara umum. Hanya saja hal itu berlaku selama tidak ada larangan pembatasan di UU lain. “Kalau ada yang melanggar, ya sanksinya pembebasan dari salah satu jabatan,” ujarnya.

Sementara, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga menyampaikan bahwa jabatan komisaris di perusahaan pelat merah, yang berasal dari lembaga atau institusi lain, merupakan representasi dari pemerintah. Pernyataan Arya itu menanggapi sorotan Ombudsman RI mengenai rangkap jabatan komisaris di beberapa perusahaan BUMN.

"Kembali kita ingatkan bahwa namanya perusahaan milik pemerintah, maka yang mengawasinya adalah pemerintah. Sama dengan swasta, perusahaan swasta yang mengawasinya pemilik sahamnya. Jadi, wajar sekali kalau pemerintah juga yang mengawasi BUMN tersebut sebagai komisaris," ujarnya di Jakarta, Rabu (5/8).

Dengan demikian, ia menyampaikan bahwa adanya komisaris BUMN yang masih berstatus pejabat di berbagai lembaga atau institusi pemerintah bukan merupakan bentuk pelanggaran.

"Mengenai rekomendasi dari Ombudsman, rekomendasi mereka kan mengusulkan kepada Bapak Presiden untuk membuat regulasi, artinya mereka juga melihat bahwa ini memang belum ada regulasi yang mengaturnya dan kita dari kementerian jelas bahwa kami akan mematuhi semua regulasi yang ada. Kalau kita membuat di luar regulasi itu, akan jadi sesuatu yang bisa digugat orang, akhirnya salah juga," ucapnya.

Menurut dia, sudah semestinya pemerintah mengawasi jalannya perusahaan pemerintah. "Kalau tidak, nanti siapa yang mengawasi mereka, masa orang luar yang mengawasi perusahaan pemerintah, dasarnya apa? Kementerian BUMN tetap mengatakan selama ada regulasinya, kami pasti patuhi, tidak mungkin tidak," tambah Arya.

Tags:

Berita Terkait