3 Substansi Ini Membuat Pembahasan RUU Terorisme Berlarut
Berita

3 Substansi Ini Membuat Pembahasan RUU Terorisme Berlarut

​​​​​​​Mulai dari definisi terorisme, pelibatan TNI dan penanganan korban terorisme.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

“Kami (TNI) tidak bisa langsung menangani aksi terorisme, yang menilai nanti BNPT apakah TNI diperlukan atau tidak. Kami juga tidak akan masuk dalam ranah penegakan hukum,” papar Edy.

 

Menurut Edy, pelibatan TNI dalam menangani terorisme akan ditentukan berdasarkan tingkat ancaman. BNPT yang mengatur dan menentukan tingkat ancaman itu, misalnya ketika aparat kepolisian tidak sanggup, maka TNI diterjunkan. Selain itu TNI akan bergerak untuk pencegahan melalui koordinator wilayah di setiap daerah dan intelijen TNI.

 

Baca:

 

Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, menjelaskan mekanisme OMSP perlu diatur lebih lanjut dan rinci. Mengatasi terorisme merupakan salah satu dari 14 OMSP yang ada dalam UU TNI. Pelaksanaan OMSP melalui keputusan politik negara yakni pemerintah meminta pertimbangan kepada DPR, bukan persetujuan. Jika pelibatan TNI itu mau dimasukan dalam RUU Terorisme, maka ketentuannya harus mengacu aturan dalam pasal 7 UU TNI. “Layaknya OMSP ini diatur dalam PP atau UU,” usulnya.

 

Peraturan tentang OMSP itu menurut Al tidak hanya mengatur soal mengatasi terorisme tapi juga mencakup seluruh OMSP. Ini penting untuk memudahkan pemerintah karena tidak perlu menerbitkan banyak aturan untuk setiap OMSP.

 

Komisioner Komnas HAM, M Choirul Anam, menyarankan agar Perpres pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme itu isinya bukan pencegahan karena dikhawatirkan akan menggiring TNI melakukan kerja di luar tugas pokoknya. Lebih baik Perpres itu mengatur tentang hal lain yang menjadi tugas pokok TNI misalnya mengidentifikasi obyek vital yang berpotensi disasar kelompok teroris. “TNI itu fungsinya nanti menangani terorisme bersenjata, nah itu yang perlu dijelaskan defenisinya, perlu dirumuskan kategorinya,” urainya.

 

Kejahatan terorisme juga tidak tepat jika disebut kejahatan luar biasa (extraordinary crime), menurut Anam lebih cocok disebut kejahatan serius (serious crime). Kejahatan luar biasa bisa berlaku untuk masa sebelum UU itu diterbitkan dan sasarannya juga khusus, begitu pula pelaku dan korbannya. Seperti genosida, termasuk kejahatan luar biasa. Untuk kejahatan serius biasanya digunakan untuk kejahatan yang penanganannya tidak bisa dilakukan sebagaimana kebiasaan, misalnya kejahatan narkotika.

 

Selain itu Anam mengingatkan agar RUU Terorisme menentukan dimana tempat penahanan setelah terduga pelaku terorisme ditangkap. Hal ini harus diatur sehingga akuntabilitasnya jelas. Kemudian, aparat harus memiliki bukti permulaan yang cukup sebelum melakukan penangkapan. Untuk jangka waktu penyadapan selama setahun, Komnas HAM menilai itu terlalu lama. “Ini penting untuk mencegah penyalahgunaan dan mengutamakan akuntabilitas,” katanya.

Tags:

Berita Terkait