Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian pengujian Pasal 240 ayat (1) huruf g UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait syarat menjadi calon anggota legislatif harus terbuka dan jujur bahwa yang bersangkutan merupakan mantan narapidana/terpidana, Rabu (30/11/2022) kemarin. Permohonan ini diajukan oleh Leonardo Siahaan yang menganggap pasal itu bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu menyebutkan “Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: g. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”
Frasa tersebut pengecualian narapidana yang dipidana 5 tahun atau lebih dapat mencalonkan diri sebagai persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, kabupaten/kota bila yang bersangkutan terbuka dan jujur. Ketentuan ini berpotensi memberi celah bagi mantan koruptor yang sedang menjalani pencabutan hak politik untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Tentunya, caleg yang tidak berintegritas tersebut akan menambah masalah di parlemen baik di pusat maupun daerah. Mereka hanya akan menularkan bibit korupsi pada anggota legislatif lainnya atau dapat saja mereka mengulang praktik korupsi yang pernah dilakukan sebelumnya.
Baca Juga:
- Aturan Syarat Nyaleg Terbuka-Jujur bagi Mantan Terpidana Kembali Dipersoalkan
- MK Siap Hadapi Sengketa Pemilu Serentak
Tapi, dalam amar putusan bernomor 87/PUU-XX/2022, MK menetapkan 3 syarat limitatif apabila mantan terpidana ingin menjadi calon anggota legislatif dalam perhelatan pemilu. Pertama, tidak pernah sebagai terpidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan (tipiring, red) dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.
Kedua, bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana. Ketiga, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.