4 Pasal Bermasalah dalam RKUHP bagi Penyandang Disabilitas
Terbaru

4 Pasal Bermasalah dalam RKUHP bagi Penyandang Disabilitas

Masih ada pasal dalam RKUHP yang bermasalah dan tidak mencerminkan perspektif disabilitas, khususnya posisi korban dan soal pertanggungjawaban pidana. Momentum RKUHP seharusnya dijadikan landasan untuk perbaikan hukum pidana yang menghormati hak penyandang disabilitas dan melindungi penyandang disabilitas dari ancaman kekerasan.

Oleh:
Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit

Albert menyatakan beberapa pasal yang membutuhkan partisipasi penyandang disabilitas adalah seputar posisi korban, hukuman mati, pertanggungjawaban pidana, persoalan gelandangan dan lain-lain.

“Pasal-pasal ini ada di KUHP yang sekarang, kita melihat ada banyak KUHP yang sekarang dirancangan KUHP yang baru. Ini menjadi momentum perbaikan untuk memperbaiki hukum pidana di Indonesia dan perbaikan sistem pidana bagi penyandang disabilitas,” ungkapnya.

Albert menjelaskan ada 4 pasal bermasalah yang ada di dalam RKUHP penyandang disabilitas. Pertama yaitu dalam Pasal 26 terkait posisi korban tindak pidana.

Pasal tersebut berbunyi, dalam hal korban tindak pidana adapun berada di bawah pengampunan, yang berhak mengadu merupakan pengampunya, kecuali bagi korban tindak pidana aduan yang berada dalam pengampuan karena boros.

“Dilihat dari pasal ini, ada pelanggaran hak atas kepastian hukum, realitas pengampunan di Indonesia, dan pengampu berpotensi menjadi pelaku tindak pidana. Sebagai contoh, pada tahun 2018 yang lalu, sebanyak 21% pelaku tindak pidana terhadap orang dengan disabilitas psikososial atau ODP adalah keluarganya sendiri,” jelas Albert.

Pasal bermasalah selanjutnya yaitu Pasal 99 ayat (4) tentang hukuman mati. Pasal tersebut berbunyi, pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil, perempuan yang sedang menyusui  bayinya, atau orang yang sakit jiwa, ditunda pidana nya sampai perempuan tersebut melahirkan, perempuan tersebut tidak lagi menyusui, atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.

“Pasal ini mengindikasikan masih kuatnya perspektif medical model, ketidakpastian hukuman mati sebagai sumber stressor, dan layanan kesehatan jiwa di lapas,” lanjut Albert menjelaskan.

Tags:

Berita Terkait