4 Rekomendasi Komnas HAM Cegah Kasus Gagal Ginjal Anak Berulang
Terbaru

4 Rekomendasi Komnas HAM Cegah Kasus Gagal Ginjal Anak Berulang

Antara lain merevisi UU Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan perlu membentuk aturan khusus sistem kefarmasian di Indonesia setingkat UU.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Begitu pula kefarmasian, Hari menyebut perlu regulasi khusus yang mengatur tentang sistem kefarmasian di Indonesia  dalam bentuk UU. Selain itu, perlu merevisi UU No.4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Misalnya, terkait penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) dalam permasalahan kesehatan, belum ada pengaturan terkait kondisi darurat kesehatan yang diakibatkan oleh penyakit tidak menular sebagai KLB.

Hari berpendapat, perlu regulasi khusus yang mengatur tentang pengawasan terhadap proses produksi, distribusi, dan pemanfaatan senyawa kimia berbahaya dan beracun di Indonesia. Termasuk memastikan adanya mandat dan kewenangan yang jelas (tidak tumpang tindih) dan terpadu (terintegrasi) antar instansi yang memiliki otoritas terkait.

“Harus menjamin kasus serupa tidak berulang di kemudian hari,” ujarnya.

Kedua, Polri harus melakukan penegakan hukum secara adil, objektif, transparan, cepat dan terukur untuk memastikan terwujudnya kepastian hukum dan pemenuhan hak atas keadilan bagi seluruh pihak terutama korban. Mempertimbangkan untuk menerapkan pasal-pasal yang berkaitan dengan perlindungan terhadap anak karena dalam kass ini korbannya adalah anak dan produk obat spesifik ditujukan untuk anak.

Ketiga, lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) direkomendasikan untuk memberikan perlindungan bagi korban/keluarga korban dalam rangka menjamin pemberian Restitusi dan Kompensasi melalui mekanisme peradilan. Hari menegaskan upaya itu penting dalam rangka penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian hukum.

Keempat, rekomendasi Komnas HAM untuk pelaku industri farmasi yakni patuh terhadap semua ketentuan dalam melakukan produksi dan distribusi obat sesuai dengan Farmakope Indonesia dan ketentuan perundang-undangan lain. Memastikan seluruh produk obat terjamin keamanan, mutu, dan khasiat.

Hari menekankan pelaku industri farmasi harus menjamin seluruh proses bisnisnya memperhatikan prinsip-prinsip HAM sebagaimana United Nation Guiding Principles (UNGPs) on Business and Human Rights. “Paling penting, kejadian serupa tidak boleh berulang ke depan,” tegasnya.

Komisioner Komnas HAM lainnya, Uli Parulian mengatakan salah satu rekomendasi tentang tata kelola dan kelembagaan. Pengaturan bidang farmasi yang diatur BPOM melalui Farmakope ada celah dimana tidak ada jaminan bagi kesehatan masyarakat dalam produk akhir farmasi. Selama ini BPOM sudah menerbitkan sertifikasi untuk industri kefarmasian termasuk produsen dan distributor obat. Tapi belum ada pengautran untuk senyawa etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).

Uli menjelaskan industri farmasi membutuhkan Propylane Glikol (PG) sebagai pelarut dalam membuat obat sirop. Misalnya PG didapat secara legal, tapi dalam kasus ini karena di pasar global mengalami kelangkaan PG harganya menjadi mahal sehingga biaya produksi menjadi mahal karena bahannya kebanyakan impor. Akibatnya EG dan DEG digunakan sebagai pengganti, dan sayangnya senyawa tersebut belum ada yang mengawasi.

“Seharusnya diawasi BPOM dan Kementerian Kesehatan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait