5 Alasan PSHK Tolak Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP
Utama

5 Alasan PSHK Tolak Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP

PSHK mendesak Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menghapus pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dari substansi RKUHP.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 6 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Kritik dan penolakan terhadap pasal penghinaan presiden dalam Rancangan KUHP (RKUHP) terus disuarakan berbagai elemen masyarakat karena pasal itu dianggap makin mengancam kehidupan demokrasi di Tanah Air. Tapi, nampaknya pemerintah bersikukuh tetap mempertahankan keberadaan pasal penghinaan presiden sebagaimana termuat dalam Pasal 218-220 RKUHP.   

“Menkopolhukam M. Mahfud MD dan Wamenkumham Eddy OS Hiariej kompak satu suara soal perumusan pasal penghinaan presiden dan/atau wakil presiden dalam RKUHP,” ujar Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Rizky Argama kepada Hukumonline, Kamis (17/6/2021). (Baca Juga: Menghidupkan Pasal Penghinaan Presiden Dianggap Bentuk Pembangkangan Konstitusi)

Rizky menilai dimasukkannya pasal penghinaan presiden dengan ancaman penjara maksimal 3 tahun 6 bulan, yang sebelumnya tercantum dalam KUHP versi kolonial, menjadi bukti bahwa capaian RKUHP yang digembar-gemborkan sebagai produk reformasi hukum pidana tidak sesuai dengan kenyataan. Menyikapi hal itu, PSHK mencatat ada 5 alasan untuk menolak rumusan tersebut.

Pertama, alasan “presiden sebagai simbol negara” dan “personifikasi masyarakat” yang dipakai pemerintah untuk menjustifikasi pasal penghinaan presiden ke dalam RKUHP adalah keliru. Padahal, perihal simbol negara sudah jelas diatur dalam Pasal 35 dan 36B UUD 1945 tentang lambang-lambang negara, sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 2009, yaitu Garuda Pancasila, bendera, bahasa, lambang negara serta lagu kebangsaan.

Melalui Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah menyatakan Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP terkait delik penghinaan presiden bertentangan dengan konstitusi, sehingga harus dibatalkan. “Perubahan delik penghinaan presiden menjadi delik aduan pada RKUHP tidak menghilangkan problem utama pada pasal anti-demokrasi ini. Justru hal itu menimbulkan kesan bahwa pemerintah mencari celah untuk mengingkari putusan MK,” kata Rizky.  

Jika ditelisik ke belakang, keberadaan pasal penghinaan presiden berasal dari KUHP Belanda. Tepatnya, Artikel 111 Nederlands Wetboek van Strafrecht (WvS Nederlands 1881), yang mengatur tentang penghinaan yang disengaja terhadap raja dan ratu dengan ancaman hukuman penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak 300 gulden. Namun, sesudah Indonesia merdeka, pasal itu kemudian diadopsi mentah-mentah oleh Pasal 134 KUHP dengan menggantikan frasa “raja dan ratu” menjadi “presiden dan wakil presiden”.

Berbeda dengan tradisi monarki yang menahbiskan raja/ratu sebagai simbol kebangsaan, pada sistem negara republik-demokratis, jabatan kepala negara/kepala pemerintahan yang diampu presiden bukanlah simbol negara. Pada bentuk republik yang dianut Indonesia, kepala negara diisi berdasarkan pemilihan, bukan melalui titah berdasarkan silsilah garis keturunan, sehingga tradisi penahbisan pun tidak dikenal.

Tags:

Berita Terkait