5 Catatan KontraS Terhadap RUU KKR
Terbaru

5 Catatan KontraS Terhadap RUU KKR

Jangan ulangi kesalahan UU KKR yang dibatalkan MK karena tidak memberi ruang partisipasi aktif bagi korban.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti. Foto: ADY
Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti. Foto: ADY

Pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo yang disampaikan dalam sidang tahunan di gedung MPR/DPR, Selasa (16/8/2022) lalu menyebut pemerintah sedang membahas RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, mengatakan Senin (5/9/2022) lalu, Tim Puslitbang HAM Kementerian Hukum dan HAM mengadakan FGD dengan tema Analisis Isu Kebijakan tentang KKR. Selain KontraS, organisasi masyarakat sipil yang ikut dalam kegiatan itu antara lain AJAR, dan LBH Jakarta.

Fatia menyebut pemerintah tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama dalam membuat UU KKR. Seperti diketahui, MK telah membatalkan UU No.27 Tahun 2004 tentang KKR melalui Putusan MK No.006/PUU-IV/2006. Beleid yang dibatalkan MK itu tidak memberi ruang partisipasi aktif bagi korban. Tapi justru menempatkan korban pada posisi yang semakin lemah, bahkan hak atas pemulihannya harus digantungkan dari pemberian amnesti oleh negara terhadap pelaku.

Guna mencegah terulangnya kesalahan yang sama, Fatia mengusulkan sedikitnya 5 rekomendasi untuk RUU KKR. Pertama, penyusunan peraturan perundang-undangan harus bersifat partisipatif, terbuka, transparan dan akuntabel. “Selain itu sebagai pemangku kepentingan, negara harus berhenti menempatkan korban hanya sebagai objek sosialisasi,” kata Fatia ketika dikonfirmasi, Rabu (7/9/2022).

Seluruh tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan harus transparan dan terbuka dengan memberikan akses bagi korban untuk mengetahui atau memberi masukan. Tanpa hal tersebut, Fatia menyebut negara hanya akan mengulang kesalahan yang sama seperti pengalaman dibatalkannya UU 27 Tahun 2004.

Fatia menegaskan partisipasi yang dilakukan harus bermakna (meaningful participation), sebagai bentuk pelibatan masyarakat yang sungguh-sungguh dalam proses legislasi. Partisipasi bermakna itu memperhatikan 3 aspek sebagaimana Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 meliputi hak masyarakat untuk didengar pendapatnya (right to be heard); hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Kedua, KKR bukan substitusi Pengadilan HAM. Fatia menekankan terbentuknya KKR tidak boleh menggugurkan kewajiban negara untuk menghukum pelaku pelanggaran HAM yang berat. Pengadilan HAM (ad hoc) harus tetap diselenggarakan sebagaimana diatur dalam UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Oleh karenanya, Komisi Kebenaran tidak boleh ditempatkan sebagai substitusi (pengganti), melainkan harus bersifat komplementer dengan Pengadilan HAM.

Ketiga, tujuan dasar pembentukan KKR tidak hanya berbicara soal pemulihan. Menurut Fatia, tujuan dasar KKR antara lain menyusun dan menjelaskan fakta; melindungi, mengakui dan mengembalikan hak korban; dan memberi masukan bagi kebijakan administratif, hukum, politik dan sosial untuk mencegah agar pelanggaran-pelanggaran HAM yang serupa tidak terulang lagi di masa depan (non-recurrence principle). “Komisi Kebenaran tidak sekedar berbicara soal pemulihan,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait