5 Kesalahan Bahasa Hukum di Indonesia Menurut Para Pakar - Bagian 2
Terbaru

5 Kesalahan Bahasa Hukum di Indonesia Menurut Para Pakar - Bagian 2

Merujuk evaluasi dan riset sejak tahun 1995 hingga tahun 2022.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Bahasa hukum Indonesia pada dasarnya adalah bahasa Indonesia yang digunakan dalam bidang hukum. Hal itu menjadi kesimpulan pertama dan utama Simposium Bahasa dan Hukum 25-27 November 1974 di Prapat, Sumatera Utara. Konsekuensinya seperti diakui.

“Hal itu berarti bahwa bahasa hukum tidak boleh meninggalkan gramatika/tata bahasa, etimologi (ilmu asal usul kata), semantik (ilmu arti kata) maupun sintaksis (ilmu tatakata) bahasa umum di Indonesia,” demikian pengakuan Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto di artikel berjudul Pendidikan Hukum dan Bahasa Hukum dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan tahun 1983.

Faktanya, penggunaan bahasa hukum Indonesia diakui bermasalah serius hingga saat ini oleh para pakar hukum dan pakar bahasa. Meminjam istilah Marsillam Simanjuntak, mantan Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman di era awal reformasi Indonesa, “Bahasa hukum sering ‘memperkosa’ kaidah tata bahasa, baik dalam susunan kalimat atau penggunaan istilah yang tidak lazim dalam pengertian umum”.

Baca Juga:

Fenomena itu sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia. The Oxford Handbook of Language and Law mencatat bahwa tren perkembangan bahasa hukum di seluruh sistem hukum dunia begitu rumit dan berbelit-belit. Bahkan, fitur-fitur khas dalam bahasa hukum justru menabrak kaidah bahasa umum di masing-masing sistem hukum.

Persoalan kesalahaan penggunaan bahasa hukum semakin rumit saat globalisasi mendorong pencangkokan konsep, teori, bahkan sistem hukum lintas negara. Bahasa hukum semakin sulit untuk tetap sejalan dengan kaidah bahasa umum di masing-masing negara. Berikut ini lima kesalahan yang hukumonline himpun dari pendapat para pakar di Indonesia. Jangan lewatkan ulasan lengkapnya dengan membaca juga bagian pertama.

3. Salah Susunan Kalimat

Lilis juga menemukan bahwa penggunaan bahasa hukum di Indonesia gagal memanfaatkan kalimat majemuk dan kalimat tunggal dengan benar. “Bahasa hukum tertulis lebih banyak kalimat-kalimat panjang, berlebihan, dan berbelit-belit,” kata dia. Ia mengingatkan ada tiga pola kalimat majemuk yang bisa digunakan dengan baik yaitu majemuk setara, majemuk bertingkat, dan majemuk rapatan. Sayangnya, kebanyakan isi teks hukum yang harusnya dalam kalimat majemuk justru biasa dijejalkan seolah dalam kalimat tunggal. Kesalahan semacam ini sudah terdeteksi oleh laporan BPHN tahun 1995. Kalimat hukum sering kacau susunannya, sehingga sulit dipahami.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait