5 Peristiwa Kepalitan dan PKPU Paling Menarik Sepanjang 2021
Kaleidoskop 2021

5 Peristiwa Kepalitan dan PKPU Paling Menarik Sepanjang 2021

Tak hanya menyoal sengketa utang, beberapa peristiwa PKPU dan kepailitan juga diselingi dengan isu motatorium PKPU.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Akhir tahun 2021 hanya tinggal menghitung hari. Sepanjang tahun ini, pemerintah masih berkutat untuk melakukan pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19. Dalam rentang dua belas bulan, beberapa peristiwa ekonomi menjadi topik hangat yang diperbincangkan oleh publik, salah satunya adalah peristiwa kepailitan dan PKPU.

Kepailitan dan PKPU merupakan langkah hukum yang dapat diambil oleh pelaku usaha tatkala perputaran roda perusahaan macet. Isu kepailitan dan PKPU menjadi hal menarik di masa pandemi, terutama terkait banyaknya pemohonan PKPU ke Pengadilan Niaga. Tak hanya itu saja, isu kepailitan dan PKPU juga sempat menjadi topik utama saat kalangan pengusaha mengusulkan kepada pemerintah melakukan moratorium PKPU.

Dalam kesempatan ini, Hukumonline akan merangkum beberapa peristiwa kepailitan dan PKPU yang paling menarik sepanjang tahun 2021.

  1. PKPU Sentul City

Pada 29 Januari 2021, perusahaan yang bergerak di bidang properti, PT Sentul City, Tbk berada dalam status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Majelis hakim pada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Pusat) yakni Dulhusin selaku Hakim Ketua dan Makmur beserta Made Sukereni sebagai Hakim Anggota memutuskan untuk mengabulkan permohonan PKPU terhadap Sentul City dalam putusan sela, yang dimohonkan oleh PT. Prakasaguna Ciptapratama.

Status PKPU Sentul City sempat menjadi perhatian publik pada awal tahun 2021, lantaran perusahaan pengembang ini memiliki jumlah konsumen yang cukup banyak. PKPU Sentul City berjalan lancar. Dalam rapat pemungutan suara PKPU yang digelar pada 9 Maret lalu, sebanyak 100% kreditur separatis dan 97% kreditur konkuren yang terdiri dari mayoritas konsumen Sentul City memberikan persetujuan terhadap proposal rencana perdamaian yang diajukan.

  1. PKPU Jiwasraya

Sepanjang tahun 2021, PT Asuransi Jiwasraya (Persero) tercatat tiga kali dimohonkan PKPU oleh pemegang polis selaku kreditur. Permohonan PKPU pertama diajukan oleh Masrura Muchtar dan Mokhtar Noer Jaya pada Januari (13/1) dengan nomor perkara No. 34/Pdt. Sus-PKPU/2021/PN Niaga Jkt.Pst. Namun sesaat jelang putusan, pemohon resmi mencabut pemohonan PKPU yang digelar di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Hanya berselang satu hari yakni 14 Januari, Jiwasraya kembali dimohonkan PKPU oleh Elfiana Naefer dengan nomor perkara Nomor 172/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Jkt.Pst. Sayangnya majelis hakim memutuskan untuk menolak permohonan PKPU tersebut.

Berselang tiga bulan kemudian (14/4), perusahaan pelat merah yang tengah berada dalam kesulitan finansial ini kembali dimohonkan PKPU. Pemegang polis atas nama Ruth Theresia dan Tomy Yoesman mendaftarkan perkara di PN Pusat dengan nomor perkara 170/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN. Jkt.Pst. Adapun tagihan dari kedua pemohon tersebut adalah sekitar Rp17 miliar. Namun putusan tersebut ditolak.

Permohonan PKPU Jiwasraya ini sempat menjadi perdebatan. Lantaran kewenangan pengajuan PKPU dan kepailitan berada dibawah kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana diatur dalam. Sehingga dalam hal ini, pemegang polis tidak dapat langsung mengajukan permohonan PKPU sebagaimana diatur dalam Pasal 223 jo Pasal 2 ayat 5 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU,

  1. Isu moratorium PKPU

Publik sempat ramai ketika Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) mengusulkan moratorium PKPU dan Kepailitan kepada pemerintah lewat Perppu. APINDO menilai pemohonan PKPU maupun pailit di masa pandemi dikhawatirkan tak sejalan dengan semangat UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Maksudnya, pandemi bisa dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk tujuan yang kurang baik lewat pengajuan PKPU dan pailit.

Hal ini kemudian direspon oleh Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI). AKPI berpandangan bahwa jika presiden ingin menerbitkan Perppu untuk melakukan moratorium terhadap permohonan PKPU dan Pailit, maka Indonesia sudah mengambil langkah mundur terkait kepastian berusaha di Indonesia. (Baca: Apindo Minta Pemerintah Lakukan Moratorium PKPU dan Kepailitan)

Rencana moratorium ini dipandang sebagai jalan pintas yang tidak menyasar pada inti permasalahan. Padahal dalam praktiknya, UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) berperan besar dalam menyelamatkan dunia usaha dari ambang pailit. Meskipun pada beberapa sisi UU Kepailitan memiliki kelemahan, namun moratorium bukanlah sebuah jalan keluar yang tepat.

Pemerintah merespon positif usulan dari kalangan pengusaha tersebut. Namun hingga saat ini moratorium PKPU dan kepailitan masih sekedar wacana.

  1. Insolvency Test

Usulan untuk menerapkan insolvency test muncul tak lama setelah APINDO meminta pemerintah melakukan moratorium PKPU. Insolvency test dinilai penting untuk menguji apakah PKPU yang dimohonkan oleh kreditur kepada debitur sudah tepat. Insolvency test merupakan suatu pembuktian bahwa debitur benar-benar mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya dan kolaps.

Namun praktik ini mustahil diterapkan di Indonesia. AKPI menilai pendekatan dari dua bidang ilmu yakni akuntansi dan ekonomi memaknai insolven secara berbeda. Dalam ilmu akuntansi, lanjutnya, suatu entitas dinyatakan insolven ketika tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban. Akuntansi mengukur kemampuan dengan uang. Data untuk mengukur kepailitan berasal dari laporan keuangan dan catatan akuntansi.

Sementara dari sisi ilmu ekonomi, perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan hingga ekuitasnya negatif tidak selalu berarti insolvent. Perusahaan yang kesulitan keuangan biasanya melakukan restrukturisasi aset dan atau kapital. Dana perusahaan dengan ekuitas negatif tidak berarti insolvent jika mereka masih dapat beroperasi dalam menghasilkan revenue.

  1. PKPU Garuda Indonesia

Medio tahun 2021, dunia bisnis Indonesia mencatat salah satu peristiwa besar yakni terkait situasi finansial PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Perusahaan burung besi milik negara ini tercatat memiliki akumulasi utang sebesar Rp70 triliun. Tumpukan utang tersebut disebabkan pendapatan perusahaan yang tidak bisa menutupi pengeluaran operasional.

Atas situasi tersebut, salah satu kreditur Garuda Indonesia yakni My Indo Airlines (MIYA) mengajukan permohonan PKPU ke PN Niaga dengan nomor perkara Nomor 289/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Jkt.Pst pada Juli lalu. Namun perusahaan pelat merah tersebut lolos dari palit setelah majelis hakim PN Pusat menolak permohonan PKPU yang diajukan oleh MIYA. Dalam sidang putusan yang digelar pada Kamis, (21/10), Majelis Hakim Heru Hanindyo menjelaskan utang kreditur tidak dapat dibuktikan secara sederhana sehingga permohonan PKPU ditolak.

Namun berselang dua hari (22/10), Garuda Indonesia (Persero) Tbk kembali dimohonkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Pusat). Dilansir dari SIPP PN Jakpus, permohonan PKPU terhadap Garuda Indonesia dengan no perkara 425/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Jkt.Pst diajukan oleh PT. Mitra Buana Korporindo (MBK) dahulu PT Mitra Buana Komputindo pada Jumat (22/10).

Pada 9 Desember, Garuda Indonesia resmi berada dalam status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Saat ini Garuda Indonesia tengah fokus menyusun proposal perdamaian dalam agenda rapat kreditur.

Tags:

Berita Terkait