5 Sebab Pengusaha ‘Kalah’ dalam Perselisihan PHK di PHI
Utama

5 Sebab Pengusaha ‘Kalah’ dalam Perselisihan PHK di PHI

Karena alasan PHK melawan aturan; kurang bukti; salah menyajikan fakta; keliru dalam melakukan proses PHK; dan penggunaan pendekatan rasa keadilan oleh hakim.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Mantan Hakim Ad Hoc PHI Jakarta Juanda Pangaribuan dalam Diskusi Interaktif Hukumonline 2022 bertajuk 'Tata Cara Melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sesuai dengan Peraturan di Indonesia', Kamis (30/6/2022). Foto: ADY
Mantan Hakim Ad Hoc PHI Jakarta Juanda Pangaribuan dalam Diskusi Interaktif Hukumonline 2022 bertajuk 'Tata Cara Melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sesuai dengan Peraturan di Indonesia', Kamis (30/6/2022). Foto: ADY

Tak selamanya hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh berjalan harmonis. Kadang dalam perjalanannya diwarnai perselisihan yang mengarah pada pemutusan hubungan kerja (PHK). UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana diubah melalui UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) mengatur mekanisme penyelesian perselisihan hubungan industrial yang berujung PHK.

Mantan Hakim Ad Hoc PHI Jakarta periode 2006-2016, Juanda Pangaribuan, mengatakan PHK merupakan tindakan hukum yang harus dilakukan sesuai prosedur hukum. PHK berakibat pada putusnya hubungan kerja baik dengan atau tanpa adanya kompensasi PHK, seperti uang pesangon, penghargaan masa kerja, dan penggantian hak. Ada banyak alasan yang bisa digunakan untuk melakukan PHK.

“Dasar hukum melakukan PHK bisa mengacu regulasi yang diterbitkan pemerintah atau peraturan internal perusahaan baik Perjanjian Kerja Bersama (PKB), Peraturan Perusahaan (PP), Perjanjian Kerja (individual), atau Peraturan/Keputusan Direksi,” kata Juanda dalam Diskusi Interaktif Hukumonline 2022 bertajuk “Tata Cara Melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sesuai dengan Peraturan di Indonesia,” Kamis (30/6/2022).

Baca Juga:

Jika merujuk UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebelumnya mengatur sebelum melakukan PHK, maksud PHK itu wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/buruh atau dengan pekerja/buruh yang bersangkutan bisa pekerja/buruh itu tidak menjadi anggota serikat pekerja. Jika perundingan itu tak menghasilkan persetujuan pengusaha hanya dapat melakukan PHK setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Hukumonline.com

Suasana diskusi interaktif Hukumonline secara daring mengenai PHK. 

Tapi, ketentuan tersebut diubah dengan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, jika PHK tidak dapat dihindari, Pasal 151 ayat (2) UU Cipta Kerja mengatur maksud dan alasan PHK diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh. Jika pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak PHK, penyelesaian dilakukan melalui perundingan bipartit. Proses penyelesaian perselisihan berlanjut ke tahap berikutnya dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perundingan bipartit tidak tercapai kesepakatan.

Lebih lanjut, tata cara PHK diatur dalam PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan PHK (PP PKWT-PHK). Membandingkan ketentuan PHK dalam UU No.13 Tahun 2003 dan UU No.11 Tahun 2020, Juanda menyebut secara umum UU No.11 Tahun 2020 lebih memberi kemudahan dalam melakukan PHK. Misalnya PHK bisa langsung dilakukan tanpa diawali dengan proses bipartit. Proses bipartit bergulir ketika pekerja/buruh menolak surat pemberitahuan PHK. Nilai kompensasi yang diatur sekarang juga lebih kecil ketimbang UU No.13 Tahun 2003.

Pada saat proses penyelesaian perselisihan PHK masuk ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), Juanda mencatat sedikitnya ada 5 sebab pengusaha gagal memenangkan perselisihan PHK di PHI. Pertama, karena alasan PHK yang digunakan melawan UU. Misalnya, Pasal 153 UU No.13 Tahun 2003 sebagaimana diubah UU No.11 Tahun 2020 seperti melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus-menerus; menikah; hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; berserikat dan lainnya (ketentuan larangan melakukan PHK).

Kedua, tidak memiliki bukti yang cukup dan akurat. Misalnya, PHK dilakukan dengan alasan efisiensi, tapi pengusaha tidak dapat membuktikan kerugian keuangan dalam waktu 2 tahun berturut-turut. Ketiga, salah dalam menyajikan fakta dan hukumnya. Keempat, pengusaha keliru dalam melakukan proses PHK, misalnya tidak menerbitkan surat pemberitahuan PHK sesuai ketentuan. Kelima, majelis hakim menggunakan pendekatan rasa keadilan, sehingga bisa jadi pekerja yang tadinya mengalami PHK tanpa diberikan kompensasi, tapi karena rasa keadilan majelis menetapkan kompensasi bagi pekerja/buruh.

Juanda berpendapat tingkat kesuksesan dalam melakukan PHK bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya pekerja menerima PHK dan semua konsekuensinya. Pengusaha berhasil mengajak pekerja/buruh menyelesaikan PHK dengan meneken perjanjian bersama (PB). Sekalipun prosesnya masuk PHI, tapi majelis tidak membatalkan SK PHK yang diterbitkan perusahaan. Terakhir, PHI tidak menghukum pengusaha mempekerjakan kembali pekerja/buruh.

Tags:

Berita Terkait