5 Sesat Pikir yang Dianggap Sahih dalam Penalaran Hukum
Terbaru

5 Sesat Pikir yang Dianggap Sahih dalam Penalaran Hukum

Penalaran hukum untuk menyusun argumentasi hukum juga berpegang pada kaidah hukum positif. Penalaran hukum tidak semata-mata berpegang pada logika formal.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Penalaran hukum memang bersandar pada logika atau metode penalaran. Namun, tidak semua sesat pikir (fallacy) dalam logika formal secara umum menjadi sesat pula dalam penalaran hukum. Hal itu dijelaskan Philipus M.Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, dua orang Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Airlangga, dalam buku karya mereka berjudul Argumentasi Hukum.

Sesat pikir dalam logika bisa terjadi karena ada pelanggaran atas kaidah logika yang sudah diakui. Kemungkinan lainnya adalah karena tidak ada hubungan logis antara premis dan kesimpulan/konklusi. Pada dasarnya Philipus dan Tatiek sepakat bahwa logika berperan besar dalam penalaran hukum untuk menyusun argumentasi hukum. Hanya saja, dua profesor hukum ini memberi catatan ada sifat khusus dalam penalaran hukum yang tidak sepenuhnya berpegang pada kaidah logika formal secara umum. Hal itu karena ada kaidah norma hukum positif yang juga menjadi pegangan.

Baca Juga:

Oleh karena itu, Philipus dan Tatiek menjelaskan dalam bukunya setidaknya ada lima model sesat pikir dalam logika yang justru dianggap sahih dalam penalaran hukum. Berikut ini adalah ringkasannya.

1. Argumentum ad ignorantium

Model ini menyatakan sebagai sesat pikir jika suatu preposisi dianggap benar karena tidak terbukti salah atau sebaliknya, suatu preposisi salah karena tidak terbukti benar. Ternyata, model ini dianggap sahih dalam penalaran hukum jika dibolehkan oleh hukum acara. Contoh yang digunakan adalah Pasal 107 UU No.5 Tahun 1986 jo UU No.9 Tahun 2004 jo No.51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), dan Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).

Pasal 1865 KUHPer mengatur, Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu. Norma ini menggunakan argumentum ad ignorantium yang dianggap sesat pikir logika sebagai penalaran hukum yang sahih. Penalaran hukum berdasarkan Pasal 1865 KUHPer memang mengharuskan demikian untuk menerima atau menolak argumentasi hukum.

Sebaliknya, Pasal 107 UU PTUN mengatur bahwa Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim. Artinya, tidak benar jika gugatan dianggap salah karena penggugat tidak bisa membuktikan dalil-dalil gugatan. Ada kemungkinan hakim mengalihkan beban pembuktian justru kepada tergugat. Pasal 107 UU PTUN ini justru sejalan dengan pendapat bahwa argumentum ad ignorantium sebagai sesat pikir logika.

Tags:

Berita Terkait